Paguyuban Pekerja Muda Peduli(PPMP YCW) INDONESIA

Sabtu, 11 April 2009

read more “ ”

read more “ ”

PANDANGAN GEREJA KATOLIK TENTANG KESETARAAN ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI


Di ambil Dari Blogspot FPBN
Oleh : Ignatius L. Madya Utama, S.J.[1]

Kerap dikatakan bahwa di hadapan Allah baik perempuan maupun laki-laki adalah setara, namun di dalam institusi-institusi manusiawi kesetaraan tersebut hanyalah sebuah wacana. Benarkah demikian? Untuk mencari jawab atas pertanyaan tersebut –atau lebih tepat, untuk mewujudkan cita-cita kesetaraan tersebut– mungkin ada manfaatnya untuk melihat apakah yang diajarkan oleh Gereja Katolik mengenai hal ini.

Pada bagian pertama dari tulisan ini, Anda kami ajak untuk melihat apakah yang dimaksudkan dengan kesetaraan dalam pandangan Gereja Katolik. Pada bagian kedua, akan kami sajikan “tindakan-tindakan” yang dapat merusak kesetaraan tersebut dan bagaimana –menurut Gereja Katolik– hal itu harus diatasi. Beberapa bahan bacaan pilihan akan kami sajikan pada akhir tulisan ini bagi Anda semua yang masih ingin memperdalam persoalan ini.

I. KESETARAAN ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

Untuk mengerti apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang keseta-raan antara perempuan dan laki-laki, paling sedikit ada tiga dokumen penting yang perlu kita lihat: Alkitab, dokumen Konsili Vatikan II dan beberapa dokumen yang ditulis oleh almarhum Paus Yohanes Paulus II.

1. Pemahaman Alkitabiah

Kitab Suci pertama yang berbicara tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah kitab Kejadian, dalam kisah penciptaan. Dalam Kitab Kejadian bab 1 (yang ditulis sekitar abad ke-5 seb. Mas.) diungkapkan bahwa manusia –laki-laki dan perempuan– diciptakan oleh Allah sebagai “gambar dan rupa-Nya” sendiri (Kej 1:27). Karena perempuan dan laki-laki diciptakan dalam “keserupaan” dengan Allah, maka mereka memiliki martabat yang sama dalam segala aspeknya. Versi lain dari kisah penciptaan manusia terdapat dalam bab 2 dari kitab yang sama (yang ditulis sekitar 3 abad lebih awal dari pada bab 1). Dikisahkan bahwa laki-laki diciptakan oleh Allah lebih dahulu dan diambil dari tanah (‘adamah); sedangkan perempuan diciptakan setelah laki-laki dan diambil dari tulang rusuk laki-laki, agar perempuan menjadi “penolong” yang sepadan dengan laki-laki. Menyadari bahwa perempuan yang dibawa oleh Allah ke hadapannya, ternyata setara dengan dirinya, maka laki-laki meninggalkan ayahnya dan ibunya untuk dapat bersatu dengan perempuan.

Mengikuti pendapat Stefania Cantore, dari kedua kisah tersebut dapat disimpulkan bahwa selain menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempu-an dengan martabat yang sama, Allah juga membuat mereka mampu untuk berelasi dalam kesetaraan, kesalingan dan ketimbal-balikan, serta dalam suasana yang harmonis (bdk. Kej 2:8-25) (Cantore, 1992: 35). Sedangkan Susan Niditch mengatakan bahwa dengan menciptakan manusia sebagai perempuan dan laki-laki sebagai cermin bagi dirinya sendiri, Allah tidak membuat pembedaan martabat maupun derajat di antara keduanya. Dengan kata lain, kendati perempuan diciptakan sesudah laki-laki, tidak ada maksud untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk ciptaan kelas dua atau lebih rendah derajatnya dari pada laki-laki (Niditch, 1995: 16).

Impian Allah seperti diungkapkan dalam Kitab Kejadian tersebut dalam perjalanan waktu –khususnya karena pola hidup patriarkal baik dalam keluarga, agama maupun masyarakat– mengalami kehancuran. Adalah Yesus –sebagai wujud kehadiran Allah yang membebaskan (di tengah) umat-Nya– mencoba memulihkan dan mewujudkan impian tersebut dalam hidup dan karya-Nya. Di kala tradisi Yudaisme hanya memperbolehkan orang laki-laki dewasa menjadi murid seorang Rabbi untuk mempelajari Kitab Taurat, Yesus juga memberi hak yang sama kepada para perempuan untuk menjadi murid-murid-Nya (bdk. Injil Lukas 10:38-42). Dan ketika masyarakat menganggap bahwa kaum perempuan tidak dapat berpikir jernih, dan karenanya suara mereka tidak perlu didengar-kan, Yesus justru belajar dari seorang perempuan “kafir” sehingga Ia mamahami bahwa tugas pengutusan-Nya untuk mewartakan karya keselamatan Allah diperuntukkan bagi semua orang (bdk. Injil Matius 15:21-28; Injil Markus 7:24-30). Dan di dalam masyarakat di mana kaum perempuan tidak diperbolehkan memberikan kesaksian di muka pengadilan (karena, katanya, mereka itu tidak dapat dipercaya!), setelah kebangkitan-Nya, Yesus justru mempercayakan kepada para perempuan untuk mewartakan dan memberikan kesaksian akan peristiwa agung dan sangat penting dalam sejarah keselamatan kepada para murid lainnya: kebangkitan-Nya dari kematian (bdk. Mt 28:7-10; Mk 16:7-8; Lk 23:9-10; Yoh 20:17-18).

Apa yang dicita-citakan oleh Allah dan diwujudkan oleh Yesus menjadi keyakinan dasar para pengikut Yesus. Hal ini nampak dalam kidung upacara pembaptisan yang mengungkapkan identitas mereka sebagai para pengikut Kristus. Dalam surat Santo Paulus kepada jemaat di Galatia tertulis:

Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki dan perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Yesus Kristus (Galatia 3:26-28).

Apa yang terungkap dalam kutipan di atas merupakan pola hidup dan pola berelasi alternatif, yang sangat kontras dengan praktik-praktik dalam masyarakat Yahudi, Romawi, maupun Yunani yang begitu patriarkal. Di dalam jemaat-jemaat Kristiani semua praktik patriarkal –entah itu pembedaan berdasarkan previlese religius, status sosial maupun gender– tidak dapat diterima lagi. Ungkapan “tidak ada lagi laki-laki dan perempuan” (Galatia 3:28) juga mengacu pada Kitab Kejadian 1:27 yang mengatakan: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Hal ini penting, sebab pada zaman Paulus –selain sudah ada praktik-praktik ketidakadilan berdasarkan previlese religius, status sosial dan gender– juga ada seorang teolog besar, Philo dari Alexandria, yang mulai menafsirkan ungkapan dalam Kitab Kejadian 1:27 itu dalam kerangka pemikiran helenistik. Menurut Philo, kisah penciptaan itu merupakan metafor tentang adanya dua unsur di dalam diri manusia: rasionali-tas (yang digambarkan dengan figur laki-laki) dan rasa-perasaan (yang dilam-bangkan dengan figur perempuan). Tafsir ini segera menimbulkan perpecahan di kalangan jemaat Kristiani. Dengan latar belakang seperti ini, bagian dari pernyataan baptisan “tidak ada laki-laki dan perempuan” merupakan ungkapan iman bahwa segala macam konflik, keterpecahan dan pembedaan dapat disem-buhkan dan diatasi dalam Yesus Kristus.

2. Ajaran Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II, dalam dokumennya Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini –atau lebih dikenal dengan Gaudium et Spes (=GS)– mengatakan bahwa semua orang diciptakan dalam citra Allah. Mereka memiliki kodrat dan asal-usul yang sama. Mereka memiliki kesetaraan dasariah. Kesetaraan tersebut harus semakin diakui. Oleh karenanya, “segala bentuk diskriminasi yang me-nyangkut hak-hak asasi manusia, entah yang bersifat sosial atau budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan rencana Allah” (GS, 29).

Lebih lanjut Konsili Vatikan II mengatakan bahwa kendati terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar antara laki-laki dan perempuan, namun martabat mereka yang sama sebagai pribadi menuntut agar kita berusaha untuk mewujudkan kondisi hidup yang lebih fair dan lebih manusiawi (GS, 29). Akibatnya, Konsili Vatikan II memandang “kesenjangan ekonomi dan sosial yang berlebihan antara individu dan bangsa-bangsa merupakan sumber skandal dan bertentangan dengan keadilan sosial, keadilan, martabat manusia, serta perdamaian sosial dan internasional” (GS, 29).

Selanjutnya Konsili Vatikan II menegaskan bahwa bila kaum perempuan masih belum diakui wewenangnya untuk dengan bebas memilih suaminya, menentukan jalan hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan seperti yang mereka inginkan (GS, 29), wajarlah kalau “Kaum perempuan menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki berdasarkan hukum dan keadilan (equity) maupun dalam kenyataan, bila kesetaraan itu belum mereka peroleh” (GS, 9).

3. Ajaran Almarhum Paus Yohanes Paulus II

Almarhum Paus Yohanes Paulus II (selanjutnya disingkat JP II) sungguh meyakini bahwa perempuan memiliki martabat yang sederajat dengan laki-laki. Kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan ini dilandaskan pada kenyataan bahwa mereka diciptakan oleh Allah sendiri menurut citra dan keserupaan dengan diri-Nya (bdk. Kej 1:26-27). Apa yang ditandaskan oleh JP II ini sangat penting, sebab selama berabad-abad Gereja mengikuti pandangan Thomas Aquinas (1225-1274) dalam melihat perempuan. Dengan mengadopsi pandangan Aristoteles (384/3-322 seb. Mas.), Aquinas meyakini bahwa perem-puan adalah seorang “misbegotten male” yang keberadaannya hanya dibutuh-kan demi membantu laki-laki untuk melahirkan anak-anak.

Berdasarkan kesetaraan martabat sebagai citra Allah ini, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup berkeluarga, menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sekaligus JP II mengingatkan bahwa “kesetaraan martabat” tidak identik dengan “kesamaan dengan” laki-laki. Kesetaraan martabat ini akan mencapai kepenuhannya ketika perempuan dan laki-laki mampu untuk hidup dalam komunio dengan satu sama lain, dengan saling menerima dan saling memberikan diri, dengan saling membantu dan bekerjasama untuk mewujudkan kesejah-teraan bersama bagi seluruh ciptaan Allah. JP II mengatakan bahwa dengan diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan menurut citra dan keserupaan dengan Allah mereka dipanggil untuk hidup bagi satu sama lain secara timbal balik. Lebih lajut JP II mengatakan bahwa dalam diri perempuan, laki-laki memperoleh mitra, dengannya ia dapat berdialog dalam kesetaraan yang lengkap.

JP II juga menandaskan bahwa kesetaraan ini harus benar-benar diusaha-kan menjadi sebuah pengalaman nyata dalam segala bidang kehidupan; antara lain, mendapatkan gaji sama untuk pekerjaan yang sama, perlindungan bagi para ibu yang bekerja, fairness dalam hal kenaikan jenjang karier, kesetaraan suami-istri menyangkut hak-hak dalam hidup keluarga, serta pengakuan terhadap segala sesuatu yang menyangkut hak dan kuajiban warga negara dalam negara yang demokratis, mempunyai akses untuk memiliki harta serta mengelola aset-aset yang dimilikinya, dan dapat ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan proses-proses untuk mengarahkan kehidupan masyarakat.

II. PENGRUSAKAN MARTABAT KAUM PEREMPUAN

Almarhum Yohanes Paulus II juga mengakui bahwa dalam kenyataannya martabat kaum perempuan kerap tidak diakui dan bahkan diinjak-injak. Sebagai akibat dari pengkondisian sosial dan kultural, banyak perempuan tidak dapat menya-dari sepenuhnya martabat mereka. Tidak jarang kaum perempuan justru dipinggirkan dari kehidupan masyarakat dan bahkan direduksikan kedalam perbudakan. Kerapkali mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama (dengan laki-laki) untuk memperoleh pendidikan, direndahkan, dan sumbangan intelektual mereka tidak dipedulikan atau tidak dihargai. Martabat perempuan juga dilanggar oleh mentalitas yang memandang mereka bukan sebagai pribadi melainkan sebagai barang, sebagai objek perdagangan. Demikian pula berbagai macam bentuk diskriminasi terhadap parempuan –khususnya diskriminasi terhadap para istri yang tidak mempunyai anak, para janda, para perempuan yang diceraikan oleh suami mereka, serta para ibu yang tidak dinikahi– sungguh merendahkan martabat perempuan. Mereka juga masih mengalami banyak diskriminasi di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan maupun pekerjaan. Martabat perempuan juga direndahkan ketika perempuan (dewasa maupun anak-anak) dipaksa untuk bekerja hanya dengan upah kecil atau bahkan tanpa upah sama sekali, tanpa hak-hak perburuhan, tanpa jaminan keamanan. Martabat mereka juga direndahkan ketika para perempuan hanya dihargai karena penampilan fisik mereka dan bukan karena skill, profesionalisme, kemampuan intelektual maupun kepekaan hati mereka yang sangat dalam. Demikian pula martabat mereka direndahkan lewat eksploitasi seksual, dan ketika mereka –karena kengawuran dan tidak adanya tanggungjawab seksual– dipaksa untuk mengakhiri hidup janin yang tidak mereka kehendaki. Martabat mereka juga direndahkan ketika para perempuan (khususnya yang masih muda) dipaksa atau “ditarik” oleh organisasi-organisasi yang tidak bertanggungjawab kedalam emigrasi klasdestin, sehingga tidak sedikit dari mereka yang terdampar dalam situasi yang sungguh merendahkan martabat: pelacuran.

Berhadapan dengan seluruh situasi seperti ini, almarhum mengatakan bahwa tidaklah mudah untuk menunjuk siapa yang paling bertanggungjawab dalam hal ini, sebab sudah berabad-abad berbagai macam pengkondisian sosio-kultural telah membentuk cara berpikir dan bertindak secara demikian. Namun, kalau dalam konteks historis tertentu ternyata tidak sedikit anggota Gereja yang terlibat dalam tindakan ini, dengan tulus hati JP II mohon maaf.

Mengalami kondisi dan perlakuan seperti itu, menurut JP II, kaum perempuan memiliki hak untuk mendesak agar martabat mereka dihormati. Dan dalam waktu yang bersamaan mereka juga mempunyai kuajiban untuk memper-juangkan agar martabat semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, ditegakkan. Sekaligus JP II mengingatkan kaum perempuan agar dalam mengusahakan pembebasan diri dari semuanya itu, jangan sampai mereka membiarkan diri mengalami “maskulinisasi terhadap perempuan”; sebaliknya mereka perlu menegakkan “feminisme baru” dengan menolak model dominasi yang selama ini dilakukan oleh kaum laki-laki dan tidak menjadikannya sebagai cara bertindak mereka.

Selanjutnya JP II meminta agar pemerintah dan organisasi-organisasi lainnya bekerja lebih efektif untuk memberikan jaminan legal bagi terwujudnya martabat dan hak-hak perempuan. Demikian pula negara-negara perlu mengatasi berbagai macam situasi yang merintangi dilakukannya pengakuan, penghormatan serta penghargaan terhadap martabat serta kompetensi kaum perempuan. Beliau juga mengimbau agar semua negara serta institusi-institusi internasional mengusahakan semua cara agar kaum perempuan memperoleh kembali perhargaan yang penuh atas martabat dan peran mereka. Imbauan juga ditujukan kepada komunitas-komunitas gerejawi agar para migran beserta dengan keluarga mereka mendapatkan tempat sebagai rumah mereka.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa JP II sungguh meyakini bahwa martabat [dan panggilan] perempuan –maupun laki-laki– berakar pada hati Allah sendiri, dan dalam kondisi keberadaan manusia martabat tersebut erat terkait dengan “kesatuan dari dua pribadi.” Sebagai konsekuensinya, setiap laki-laki mesti bertanya diri apakah setiap perempuan telah diperlakukan sebagai co-subject dari keberadaannya di dunia ini dan tidak dijadikan objek bagi kenikmat-an dan eksploitasi. Demikian pula dominasi tidak dibenarkan karena merupa-kan ancaman yang dapat menghancurkan baik kesetaraan martabat antara perempuan dan laki-laki maupun martabat mereka masing-masing. Khususnya dalam hidup perkawinan, JP II mengatakan bahwa perempuan tidak dapat menjadi ‘objek’ dari ‘dominasi’ dan ‘milik’ laki-laki.

BUKAN KATA AKHIR

Mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan memang tidak mudah; juga –dan mungkin lebih-lebih– dalam Gereja. “Tempat” yang paling tepat untuk memulainya adalah diri kita sendiri serta lingkungan di mana kita hidup. Di “tempat-tempat” itulah kita perlu membuang semua bentuk ketidak-setaraan dan mulai membangun kesetaraan. Dan karena kesetaraan antara perempuan dan laki-laki memiliki banyak segi, maka perwujudannyapun menuntut kerjasama dari berbagai macam pihak dan bidang; oleh karenanya kerjasama dalam jejaring merupakan suatu keharusan.

DAFTAR BACAAN PILIHAN

Børresen, Kari Elisabeth. 1995. Subdordination and Equivalence. The Nature and Role of Woman in Augustine and Thomas Aquinas. Kampen: Kok Pharos Publishing House.

Cantore, Stefania. 1992. “Women in Christianity. A Biblical Approach.” Dalam NN. Women In Society According to Islam dan Christianity. Acts of a Muslim-Christian Colloquium Organized jointly by The Pontifical Council for Interreligious Dialogue (Vatican City) and The Royal Academy for Islamic Civilization Research Al Albait Foundation (Amman). Rome, Italy: 24-26 June 1992, pp. 33-47.

John Paul II. 1994. Amanat Apostolis Familiaris Consortio Paus Yohanes Paulus II tentang Keluarga Kristiani Dalam Dunia Modern. Yogyakarta: Penerbit Kanisius & Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang.

_________. 1988. “Apostolic Letter on the Dignity and Vocation of Women, Mulieris Dignitatem.” Origins 18 (October 6, 1988): 261, 163-283.

_________. 1988. Post-synodal Apostolic Exhortation on the Vocation and the Mission of the Lay Faithful in the Church and in the World, Christifideles Laici. Washington, D.C.: USCC.

Konferensi Waligereja Indonesia. 1996. Pedoman Gereja Katolik Indonesia. Sidang Agung KWI–Umat Katolik 1995. Cetakan Ketiga. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia.

_________. 2004. Surat Gembala Konferensi Waligereja Indonesia 2004 tentang “Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki sebagai Citra Allah.” Jakarta: Sekretariat Jenderal Konferensi Waligreja Indonesia.

Konsili Vatikan II. 1993. Dokumen Konsili Vatikan II. Terjemahan: R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI & Obor.

Madya Utama, Ignatius L. 2003. “Memahami Salib dan Keselamatan dari Perspektif Orang Tertindas.” Hidup 57 (20 April 2003): 20-21.

_________. 2005. “Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Agama Kristiani.” Diskursus 4 (April 2005): 59-80.

Marucci, Carl J., ed. 1997. Serving the Human Family. The Holy See at the Major United Nations Conferences. New York City: The Path to Peace Foundation.

Miller, J. Michael, ed. 1996. The Encyclicals of John Paul II. Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor Publishing Division Our Sunday Visitor, Inc.

Newsom, Carol A. and Sharon H. Ringe, eds. 1998. Women’s Bible Commentary. Expanded Edition with Apocrypha. Louisville: Westminster John Knox Press.

Radford Ruether, Rosemary. 1993. Sexism and God-Talk. Toward a Feminist Theology. With a New Introduction. Boston: Beacon Press.

Schüssler Fiorenza, Elizabeth. 1993. Discipleship of Equals. A Critical Feminist Ekklesia-logy of Liberation. New York: Crossroad.

Schüssler Fiorenza, Elizabeth and Mary Shawn Copeland, eds. 1994. Violence Against Women. Concilium 1994/1. London/Maruknoll, N.J.: SCM Press/Orbis Books.

Niditch, Susan. “Genesis.” Dalam Renita J. Weems. 1995. Battered Love. Marriage, Sex, and Violence in the Hebrew Prophets. Minneapolis: Fortress Press.

[1] Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyaraka, Jakarta.

# posted by Forum Pendamping Buruh Nasional : 2:08 PM
read more “PANDANGAN GEREJA KATOLIK TENTANG KESETARAAN ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI”

Hak atas Jaminan Sosial


Diambil dari Blgspot nya FPBN
Dimuat dalam jurnal FPBN edisi 6
Hak atas Jaminan Sosial

Human beings are like parts of a body,
created from the same essence.
When one part is hurt and in pain,
the others cannot remain in peace and be quiet.
--Motto dari Tehran School of Social Work, 1958-1979
Latar Belakang Sejarah
Pada awalnya jaminan sosial diadakan dalam konsepsi ‘amal’ (charity) atau kemurahan hati komunitas sosial terhadap anggotanya komunitas sosial yang tidak beruntung secara ekonomi. Penyedia jaminan sosial tersebut, biasanya adalah organisasi keagamaan, para tuan tanah, komunitas adat, atau keluarga besar. Mereka menyediakan jaminan sosial berdasarkan prakarsa sendiri yang didorong oleh rasa tanggung jawab sosial bersama. Konsep jaminan sosial yang bergantung pada rasa tanggung jawab kelompok sosial seperti ini terjadi karena saat itu belum dikenal relasi perburuhan formal. Penerima jaminan sosial terbatas pada sekelompok orang tertentu saja. Misalnya, tuan tanah terhadap sejumlah keluarga yang tinggal di wilayah tanah miliknya dan bekerja tanpa menerima upah, walau lazim diberi kebutuhan hidup seadanya. Contoh yang lain adalah kaum bangsawan dan raja yang menagih hasil kerja warganya yang dapat diganti dengan jaminan keamanan atau pun bantuan seadanya, berdasarkan kemurahan hati bangsawan dan raja tersebut.
Revolusi industri dan kebangkitan kapital di pertengahan abad 18 berdampak terhadap perubahan ekstrim dalam relasi sosial. Komunitas sosial mulai mengenal hubungan perburuhan formal dan upah sebagai imbalan kerja. Sifat relasi perburuhan yang subordinatif, relasi yang tidak seimbang karena kaum pemodal memiliki otoritas untuk menentukan berlanjut atau tidaknya hubungan kerja, menyebabkan kaum buruh dan keluarganya sama sekali tidak memiliki jaminan jika suatu saat mereka di-PHK, sakit, atau tidak memperoleh pekerjaan. Itu sebabnya dirasa perlu ada jaminan [ekonomi] yang dapat membuat buruh dan keluarganya dapat bertahan hidup jika ia mengalami sakit, kecelakaan kerja, atau pun di-PHK. Kaum buruh kemudian menganggap perlu adanya campur tangan Negara untuk membangun sistem jaminan sosial.
Desakan yang dilakukan oleh kaum buruh dan kelompok-kelompok sosial lainnya berhasil mendorong banyak negara untuk memainkan peran aktif dalam membangun sistem perlindungan sosial. Jerman pada masa pemerintahan Kanselir Bismarck adalah negara pertama yang membangun sistem jaminan sosial tahun 1883-1889. Sistem ini diperuntukkan hanya bagi mereka yang memiliki penghasilan, yang dibiayai dari kontribusi buruh dan majikan. Pada tahun 1911, pemerintah Inggris menerapkan sistem jaminan sosial yang juga mencakup manfaat bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Sejak sebelum Perang Dunia II, negara-negara kesejahteraan (welfare-state) sosial-demokrat di wilayah Skandinavia mengembangkan konsep jaminan sosial yang tidak hanya diperuntukkan bagi kaum buruh, tetapi bagi seluruh rakyatnya. Dinyatakan bahwa sistem jaminan sosial dapat dijadikan sarana efektif untuk mengurangi ketidakadilan yang diakibatkan oleh kapitalisme. Inilah yang menjadi latar belakang pemikiran tentang hak sosial setiap orang; bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk menyediakan dan melindungi hak-hak sosial setiap orang melalui penyediaan akses yang sama atas kebutuhan-kebutuhan dasar sosial. Tahun 1930an, pada masa depresi ekonomi, Amerika Serikat memberlakukan UU Jaminan Sosial. Undang-undang tersebut memberikan jaminan perlindungan sosial terhadap kaum buruh, namun juga menetapkan kewajiban subsidi negara terhadap mereka yang tidak memiliki pekerjaan. Terbukti bahwa sistem dalam UU Jaminan Sosial ini mampu membantu Amerika Serikat mengatasi kekacauan sosial yang timbul akibat depresi ekonomi saat itu.
Saat ini, hampir seluruh negara di dunia memberlakukan jaminan sosial sebagai bagian dari ekspresi tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya. Bentuk-bentuk jaminan sosial yang diberikan berbeda-beda. Negara-negara maju biasanya mengembangkan sistem jaminan sosial yang terdiri dari kombinasi program jaminan sosial dan bantuan sosial. Jaminan sosial menyediakan manfaat tambahan bagi kaum buruh dan keluarganya yang disediakan saat tidak bisa bekerja (misalnya, saat sakit, melahirkan, atau pun karena lanjut usia dan terkena PHK). Jaminan sosial dibiayai juga oleh kontribusi buruh, majikan, dan negara. Sedangkan program bantuan sosial diadakan melalui anggaran negara yang biasanya dikhususkan bagi kelompok-kelompok tak berdaya dalam masyarakat (misalnya kaum jompo dan penyandang cacat). Bentuk manfaatnya tentu berbeda-beda di tiap negara, tetapi biasanya berupa bantuan untuk pangan, kesehatan, tempat tinggal, bahkan biaya pemakaman. Ada negara yang menyediakan bantuan sosial ini dalam bentuk kupon, tetapi ada juga yang memberikan uang tunai.
Negara-negara berkembang dan miskin memiliki kesulitan lebih besar untuk menyediakan jaminan sosial bagi warganya. Hanya sedikit negara berkembang yang mampu menyediakan program jaminan sosial yang komprehensif. Lainnya terpaksa memfokuskan program jaminan sosial yang ada bagi kelompok tak berdaya (misalnya anak-anak dan kaum jompo), atau pun untuk situasi darurat (misalnya bencana alam, kelaparan, dll). Kesulitan ekonomi, utang luar negeri, atau pun lemahnya kapasitas administrasi menyebabkan kebanyakan negara berkembang kesulitan untuk mengadakan jaminan sosial yang memadai. Namun demikian, baik juga untuk memeriksa alasan-alasan seperti itu secara lebih teliti. Human Development Report 1991 menyatakan bahwa persoalan utama terabaikannya program jaminan sosial sesungguhnya adalah lemahnya komitmen politik, bukan finansial.
Hak atas Jaminan Sosial adalah Hak Asasi Manusia
Mengapa hak atas jaminan sosial dianggap sebagai salah satu hak asasi manusia? Jawabannya bisa ditelusuri dari pemaknaan sejarah keberadaan hak atas jaminan sosial dalam masyarakat: Hak atas jaminan sosial pada dasarnya berbicara tentang hak hidup. Tidaklah patut jika seseorang dibiarkan mati secara perlahan karena kemiskinan dan ketidakmampuan untuk bekerja demi menghidupi diri sendiri. Hak asasi untuk hidup manusia tidak berhenti pada kemampuan untuk bertahan hidup saja. Setiap manusia berhak untuk memiliki standar kehidupan yang layak, yang menjangkau hak atas kesehatan, hak atas perumahan, hak atas pendidikan, dan lain-lain. Dalam lingkup hak asasi manusia, kewajiban untuk memastikan terjaminnya kehidupan yang layak diletakkan pada pundak Negara. Konsep jaminan sosial yang telah dikembangkan sejak puluhan tahun lalu dianggap dapat menolong Negara untuk memastikan terpenuhinya hak asasi atas kehidupan yang layak setiap warganya. Dalam pemahaman yang luas, hak atas jaminan sosial berbicara tentang penjaminan ketersediaan kebutuhan hidup demi pemenuhan standar kehidupan yang layak. Karena itulah hak atas jaminan sosial adalah salah satu bentuk hak asasi manusia di bidang ekonomi dan sosial.
Demikianlah hak atas jaminan sosial sesungguhnya berbicara tentang bentuk kesalingterkaitan dan kesalingbergantungan hak asasi manusia. Dalam perspektif hak asasi di bidang sipil dan politik, hak atas jaminan sosial mengandung aspek perlindungan hak atas hidup, hak atas keamanan seseorang, dan juga hak atas perlindungan dari siksaan fisik maupun segala bentuk perlakuan tidak manusiawi. Di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, hak atas jaminan sosial berbicara tentang pemenuhan hak atas kesehatan, pendidikan, perumahan, dll. Karena itu, pelaksanaan program jaminan sosial seharusnya dilakukan dengan pendekatan hak asasi manusia yang didasari prinsip-prinsip berikut:
1. Cakupan luas, maksudnya program jaminan sosial harus memberi manfaat yang mencakup berbagai hal yang menyebabkan seseorang tidak mampu bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini, misalnya, melingkupi situasi tak bekerja, sakit, usia lanjut, melahirkan, ataupun jaminan hidup bagi anak-anak ketika orang tuanya meninggal dunia.
2. Universalitas dan anti-diskriminasi, maksudnya dapat menjangkau semua orang yang membutuhkan jaminan sosial, tanpa terkecuali dan tidak mendiskriminasi dengan dasar apa pun termasuk perbedaan ras, jenis kelamin, orientasi seks, agama, pandangan politik, maupun status ekonomi.
3. Cukup dan layak, maksudnya manfaat jaminan sosial yang diterima seharusnya cukup dan layak. Misalnya, jaminan kesehatan yang diberikan semestinya dapat membiayai kebutuhan pengobatan selayaknya selama dibutuhkan oleh si penderita.
4. Menghormati hak-hak prosedural, maksudnya adalah aturan dan prosedur untuk mendapatkan manfaat jaminan sosial haruslah diatur sedemikian rupa sehingga adil dan masuk akal. Misalnya saja seseorang yang sedang berada dalam keadaan darurat seharusnya memperoleh akses untuk mendapat pelayanan cepat dan efektif.
Perkembangan Hak atas Jaminan Sosial di Indonesia
Amandemen UUD 1945 pasal 34 ayat (2) menyebutkan, “Negara mengembangkan jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakan lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Sampai hari tulisan ini dibuat, Indonesia belum memiliki sistem jaminan sosial yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Penyediaan jaminan sosial hanya tersedia bagi mereka yang memiliki pekerjaan, baik di sektor swasta maupun di sektor publik. Mereka yang berstatus sebagai buruh sektor swasta berhak untuk diikutsertakan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (biasa disingkat Jamsostek) berdasarkan UU No. 3 tahun 1992. Sedangkan mereka yang berstatus buruh pada sektor publik –baik yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil atau pun anggota militer– secara otomotis diikutsertakan pada skema-skema jaminan sosial yang biasa dikenal sebagai Tabungan Sosial Pegawai Negeri (TASPEN), Asuransi Kesehatan (ASKES), atau Asuransi ABRI (ASABRI). Jaminan sosial yg tersedia dari skema-skema tersebut di atas biasanya berupa jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, atau pun tunjangan hari tua (pensiun).
Bulan September 2004 lalu, Pemerintah mensahkan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Ini adalah aturan hukum pertama di Indonesia yang mengatur pemberian jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam UU No. 40 tahun 2004, Negara menyatakan kewajiban hukumnya untuk menyediakan manfaat jaminan sosial berupa jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan jaminan kematian. Dinyatakan pula bahwa pemberian jaminan kesehatan akan menjadi prioritas utama yang akan dilakukan oleh Negara, sedangkan manfaat jaminan sosial lainnya akan dilaksanakan secara bertahap. Untuk membiayai pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional ini, kaum buruh dan majikan diwajibkan untuk memberi kontribusi dalam bentuk iuran, sementara fakir miskin dan orang tidak mampu ditanggung oleh Negara. Hal yang sesungguhnya tidak asing berlaku dalam konteks negara kesejahteraan, seperti didiskusikan pada bagian awal tulisan ini.
Program sistem jaminan sosial nasional ini direncanakan akan berlaku efektif paling lambat tahun 2009, 5 tahun setelah waktu diundangkannya UU No. 40 tahun 2004. Program ini akan dikelola oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional. Dewan ini bertanggung jawab pada Presiden dan beranggotakan 15 orang dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat buruh, dan para ahli. Sebagai tahapan awal, pembiayaan pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional akan menggunakan dana yang ada pada skema-skema jaminan sosial pada Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes. Keempat perusahaan pengelola Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes akan dilebur menjadi satu untuk selanjutnya bekerja dalam skema program sistem jaminan sosial nasional seperti diamanatkan dalam UU No. 40 tahun 2004 ini.
Harus diakui bahwa terdapat berbagai pertanyaan dan gugatan tentang pemberlakuan sistem jaminan sosial di Indonesia. Kebanyakan kaum buruh, baik dari sektor publik maupun swasta, memiliki banyak gugatan terhadap pemberlakuan jaminan sosial yang ada sekarang. Misalnya saja, buruh-buruh manufaktur merasa tidak mendapatkan manfaat yang memadai dari keikutsertaannya dalam program Jamsostek. Prosedur klaim manfaat yang berbelit-belit serta minimnya dana yang diberikan merupakan keluhan utama terhadap program ini. Kinerja Pemerintah dalam mengelola program Jamsostek juga menuai kritik pedas, terutama mengenai kronisnya tingkat korupsi di sini. Hal yang sama juga menjadi gugatan dari para pegawai negeri sipil yang merasa kesulitan dalam memperoleh manfaat jaminan sosial dari Taspen maupun Askes.
Tak heran, jika UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional juga ditanggapi secara skeptis oleh kaum buruh. Program yang secara ideal hendak menyediakan kompensasi atas berbagai kewajiban ekonomi yang dibebankan pada rakyat kurang mendapat tanggapan yang positif dari rakyat. Salah satu alasan utama yang sering muncul dalam berbagai diskusi adalah terdapatnya ketidakjelasan tentang sistem kerja dan rencana program. Di sisi lain, banyak pihak meragukan keberlangsungan program ini (sustainability) mengingat pengelolaannya diserahkan pada pemerintah yang dianggap belum mampu mengatasi kroniknya korupsi di tubuhnya sendiri. Sampai hari tulisan ini ditulis, berarti sudah lebih dari 2 tahun sejak UU No. 40 tahun 2004 diundangkan, belum ada perkembangan yang berarti tentang bagaimana program ini akan berjalan. Malahan, yang lebih membingungkan, kabarnya saat ini Pemerintah justru mengakomodir keinginan para pemilik modal untuk mengamandemen UU No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek demi mengalihkan kewajiban membayar pesangon PHK kepada Jamsostek. Lalu, bagaimana relasinya dengan rencana pemberlakuan sistem jaminan sosial nasional yang rencananya akan berdampak pada Jamsostek?
Penutup
Hak atas jaminan sosial adalah hak asasi manusia. Walau menurut hukum hak asasi manusia yang berlaku secara internasional dimasukkan dalam kelas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, namun sesungguhnya hak atas jaminan sosial juga berbicara tentang kesalingterkaitan dan kesalingbergantungan hak asasi manusia. Dengan memastikan tersedianya hak atas jaminan sosial, Negara memastikan hak atas hidup –dan pemenuhan standar kehidupan yang layak (decent life standard)– bagi warganegaranya.
Hak atas jaminan sosial juga berbicara tentang kemampuan Negara dalam memahami kewajiban-kewajibannya terhadap warga negara. Dalam konteks globalisasi ekonomi yang menyeret individualisasi dalam setiap aspek kehidupan sosial, Negara diharapkan menjadi salah satu penyedia jangkar kewarasan tanggung jawab bermasyarakat untuk saling memperhatikan dan membantu. Sebagai pengelola sebuah komunitas, Negara diberi mandat dan hak untuk menggunakan kekuatan hukum dalam memastikan bahwa penyediaan sistem jaminan sosial setidaknya memastikan setiap warganegara, semiskin apa pun, tetap dapat menjalankan hidupnya secara bermartabat.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pemberlakuan sistem jaminan sosial di Indonesia adalah urgensi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Untuk itu, sudah saatnya Negara menetapkan prioritas atas pemberlakuan sistem jaminan sosial nasional daripada sekadar mengakomodir kepentingan modal; sesuatu yang cenderung terus menjadi prioritas Negara selama beberapa dekade belakangan ini.
Jakarta, 19 Februari 2007
Rita Olivia Tambunan
Hak atas Jaminan Sosial menurut Standar-standard Internasional
Instrumen Hak Asasi Manusia Hak-hak yang Dijamin Komentar
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 22: Hak atas Jaminan Sosial
Pasal 25 mengakui hak semua orang atas jaminan pada saat tidak bekerja, sakit, cacat, janda/duda, usia lanjut, dan situasi buruk lainnya yang terjadi di luar kontrol kemampuan manusia. DUHAM memang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, namun instrumen ini telah meletakkan dasar penting pengakuan hak atas jaminan sosial dalam berbagai perjanjian internasional yang diadopsi oleh Negara-negara.
Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pasal 9 mengakui hak semua orang atas jaminan sosial
Pasal 10 ayat (2) mengakui hak para ibu yang bekerja atas “jaminan sosial yang layak”
Pasal 10 ayat (3) menetapkan negara-negara anggota untuk melakukan tindakan-tindakan khusus untuk melindungi dan membantu anak-anak dan orang muda. Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari pasal 9. Namun demikian, Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya senantiasa mencari informasi berkaitan dengan 9 aspek jaminan sosial yang merupakan bagian dari Konvensi ILO No. 102. Dari upaya tersebut diketahui bahwa hak atas bantuan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar tidak termasuk bagian dari hak atas jaminan sosial. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa hak atas bantuan sosial itu sebenarnya dapat ditarik dari pasal 11 yang mengakui ‘hak atas standar kehidupan yang layak, termasuk makanan yang layak, pakaian dan perumahan, dan perbaikan yang berkelanjutan atas kondisi kehidupan”.
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Pasal 11 ayat (1) mewajibkan negara-negara anggota untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam relasi perburuhan, dan untuk memastikan hak yang sama antara lelaki dan perempuan, khususnya.... hak atas jaminan sosial, khususnya saat pensiun, tidak bekerja, sakit, cacat, dan usia lanjut, dan situasi lain yang menyebabkan tidak mampu bekerja, seperti juga hak atas cuti yang [tetap] diupah.
Pasal 11ayat (2b) menetapkan negara-negara anggota untuk mengadopsi tindakan-tindakan yang sepatutnya dilakukan untuk memberlakukan jaminan sosial saat cuti melahirkan.
Pasal 14 ayat (2) mengakui kewajiban negara-negara anggota untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di pedesaan, dan khususnya untuk memastikan mereka memperoleh hak menikmati secara langsung program-program jaminan sosial [yang diadakan Negara]
Konvensi tentang Hak-hak Anak Pasal 26 mengakui hak setiap anak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial.
Pasal 27 ayat (1) mengakui hak setiap anak atas standar kehidupan yang layak mencakup fisik, mental, rohani, serta pertumbuhan moral dan sosialnya.
Sehubungan dengan itu, pasal 27 ayat (2) dan (3) mewajibkan setiap negara anggota, selaras dengan kondisi dan situasi nasional, untuk melakukan tindakan-tindakan yang patut untuk membantu para orangtua untuk memberlakukan hak ini dalam hak dibutuhkan bantuan materi dan dukungan program, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan nutrisi, pakaian, dan perumahan.
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras Pasal 5(e)(iv) mengakui kewajiban negara-negara anggota untuk melarang dan menghapus diskriminasi ras dalam pemenuhan, satu diantaranya, hak atas jaminan sosial dan pelayanan sosial.
Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya Pasal 27 dan 54 secara tegas mengakui hak-hak buruh migran atas jaminan sosial.
Piagam Sosial Eropa Pasal 12 mengharuskan pihak-pihak dalam perjanjian ini untuk menetapkan atau mempertahankan sebuah sistem jaminan sosial di tingkat yang layak, setidaknya seperti yang disyaratkan dalam ratifikasi Konvensi ILO No. 102 mengenai Standar-standar Minimum Jaminan Sosial.
Sebagai tambahan, pihak-pihak dalam perjanjian ini wajib berusaha untuk meningkatkan sistem jaminan sosial secara progresif ke tingkat yang lebih tinggi. Pasal ini juga berisi aturan yang berkaitan langkah-langkah untuk memastikan perlakuan yang sama terhadap warganegaranya, maupun warganegara pihak dalam perjanjian ini berkaitan dengan hak atas jaminan sosial, penjaminan, pemberlakuan, dan keberlangsungannya. Pasal 13 mengakui hak atas bantuan sosial dan medis.
Para pihak dalam perjanjian ini patut memastikan bahwa semua orang yang tidak memiliki sumber-sumber kehidupan yang layak dan tidak mampu mendapatkannya, baik dengan usahanya maupun dari pihak lain –khususnya dari skema jaminan sosial yang ada, harus dijamin bantuan yang layak, dan, dalam kondisi sakit, perawatan kesehatan yang dibutuhkan.
Pasal 13 ayat (2) melarang diskriminasi terhadap orang-orang yang patut menerima bantuan tersebut di atas. Pasal 13 ayat (3) menetapkan ketersediaan bantuan dan saran yang dibutuhkan untuk mencegah dan mengatasi gangguan personal atau keluarga. Aturan khusus ditetapkan untuk bantuan [sosial] untuk melahirkan utamanya untuk memastikan jaminan efektif terhadap hak perempuan bekerja atas perlindungan hak untuk melahirkan (pasal 8). [Jaminan sosial] untuk keluarga dijamin pasal 16. Hak atas jaminansosial juga dilindungi dalam perbaikan Piagam Sosial Eropa (Mei 1996). Pasal ini penting karena mengakui hak subyektif yang asli berkaitan dengan bantuan yang sepatutnya bagi setiap orang yang tidak mampu untuk mendapatkan sumber penghidupan.
Sebagai tambahan terhadap Piagam Sosial Eropa, Dewan Eropa telah menerbitkan Konvensi Eropa tentang Bantuan Sosial dan Medis (1953) dan Konvensi Eropa tentang Jaminan Sosial (1964, diperbaiki 1990). Konvensi yang terakhir menunjukkan sejumlah kesamaan dengan Konvensi ILO No. 102. Di Uni Eropa, ‘dimensi sosial’ berkaitan erat dengan hak-hak buruh. Charter Komunitas tentang Hak-hak Fundamental Buruh (1989) menggabungkan hak buruh atas jaminan sosial dan bantuan sosial dengan hak orang [non-buruh] atas hal yang sama (pasal 10). Pendekatan yang sama juga terlihat dalam Deklarasi Parlemen Eropa tentang Hak-hak dan Kebebasan Fundamental (1989), pasal 15.
Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Manusia Pasal 16 mengakui hak semua orang atas jaminan sosial ‘yang melindungi terhadap segala akibat dari pengangguran, usia lanjut, dan segala ketidakmampuan yang muncul dari hal-hal di luar kontrol manusia dan membuatnya –secara fisik dan mental– tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya’.
Pasal 9 dari Protokol Tambahan atas Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia di Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang belum diberlakukan sampai saat ini, berbunyi sebagai berikut:
“( 1) Setiap orang memiliki hak atas jaminan sosial yang melindunginya dari segala konsekuensi usia lanjut dan kecacatan yang membuatnya tidak mampu, fisik dan mental, untuk memperoleh sumber kehidupan yang layak. Dalam kasus kematian seorang penerima manfaat, jaminan sosial seharusnya diberikan kepada ahli warisnya.
“(2) Bagi kaum buruh, hak atas jaminan sosial meliputi setidaknya jaminan kesehatan, jaminan penghasilan atau pensiun bagi mereka yang mengalami kecelakaan atau penyakit saat bekerja, dan jaminan upah saat cuti melahirkan bagi buruh perempuan.”
Charter Afrika tentang Hak Asasi Manusia Perjanjian ini tidak secara khusus mengatur hak atas jaminan sosial. Namun demikian, aspek-aspek khususnya dapat dilihat dalam pasal 16 (hak atas kesehatan) dan pasal 18 ayat (4) (hak kaum usia lanjut dan cacat atas perlindungan khusus).
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Konvensi No. 102 tentang Standar-standar Minimum Jaminan Sosial mengakui 9 aspek dalam jaminan sosial: perawatan kesehatan, jaminan saat sakit, jaminan pengangguran, jaminan hari tua, tidak mampu bekerja karena terluka, jaminan keluarga, jaminan melahirkan, jaminan karena cacat, dan jaminan bagi ahli waris. Konvensi juga mengatur persyaratan minimum pelaksanaannya, antara lain berkenaan dengan cakupan dari populasi, isi dan tingkat jaminan, perlindungan hak dari kontributor dan penerima jaminan, dan hal-hal yang berkenaan dengan administrasi. Konvensi-konvensi ILO lain yang relevan: Konvensi No. 103 tentang Perlindungan Melahirkan (1952, diperbaiki), Konvensi No. 118 tentang Perlakuan yang Sama terhadap Warganegara dan non-Warganegara (1962), Konvensi No. 121 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (1964), Konvensi No. 128 tentang Jaminan Kecacatan, Usia Lanjut, dan Ahli Waris (1967), Konvensi No.157 tentang Pemberlakuan Hak-hak Jaminan Sosial (1982), dan Konvensi No. 168 tentang Promosi di Tempat Kerja dan Perlindungan dari Pengangguran (1988).
Secara umum, ILO memang mengaitkan hak-hak atas jaminan sosial dengan relasi perburuhan, walau secara progresif ILO memperkenalkan pemahaman yang lebih luas tentang jaminan sosial dimana Negara-majikan-buruh memiliki peran masing-masing untuk membiayai jaminan sosial.
Sattareh Farman Farmaian dan Dona Munker, ”Daughter of Persia: A Woman’s Journey from Her Father’s Harem Through the Islamic Revolution”, (New York: Crown, 1992), dikutip dari Sunila Abeyesekera, et.al, “Circle of Rights”, (Bangkok: International Human Rights Internship Program and Asian Forum for Human Rights and Development, 2000), hal. 209.
Diterjemahkan oleh penulis dari Sunila Abeyesekera, et.al, “Circle of Rights”, (Bangkok: International Human Rights Internship Program and Asian Forum for Human Rights and Development, 2000), hal. 214-218.
Labels: Jaminan Sosial

# posted by Forum Pendamping Buruh Nasional : 12:49 AM
read more “Hak atas Jaminan Sosial”

Pentingnya Hak Ekonomi dan Sosial di Jaman Globalisasi Ekonomi[1]


Di ambil dari salah satu Blogspot nya FPBN
Dimuat dalam Jurnal FPBN edisi 6

Pentingnya Hak Ekonomi dan Sosial di Jaman Globalisasi Ekonomi[1]

Asbjørn Eide[2]

1. Introduksi

Proses globalisasi menjadi amat konfliktual. Salah satu alasan pokok adalah bahwa aktor utama dalam proses globalisasi pasar gagal untuk menghormati dan memastikan hak ekonomi dan sosial, termasuk hak atas pangan dan hak fundamental untuk bebas dari kelaparan. Lebih buruk lagi, arah globalisasi, khususnya globalisasi ekonomi yang telah terjadi 25 tahun terakhir telah benar-benar negatif, membuat negara-negara menjadi semakin sulit untuk menerapkan hak ekonomi dan sosial.

Bab ini membahas pentingnya pendekatan komprehensif atas hak asasi manusia –atas hak sipil politik sebagaimana juga hak ekonomi, sosial, budaya. Hanya jika semua ini benar-benar diperhatikan secara terpadu barulah manfaat potensial globalisasi dapat dibagikan secara setara dan proses globalisasi dialami dalam wajah dan isi yang lebih manusiawi.

PBB di tahun 1948 mencanangkan suatu proyek dengan jangkauan jauh untuk pengakuan dan pewujudan hak asasi manusia melalui diadopsinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang mencakup hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik. Hak-hak ini tidak secara universal di tahun 1948 itu, dan jauh dari dihormati secara universal –hal itu adalah hak yang akan dicapai melalui usaha nasional dan internasional sebagaimana dicerminkan dalam DUHAM/UDHR.

Kesadaran dan pengakuan hak sipil dan politik mengalami peningkatan penting di era ’90-an, meski menghadapi tantangan berat dengan adanya konflik etnik. Kesadaran semakin meningkat dengan adanya dampak dari ‘nine-eleven’ (:tragedi WTC, New York 2001) dan meningkatnya perhatian atas perang melawan teror, yang di dalam beberapa bentuknya telah menjadi pelanggaran serius hak asasi manusia dasar, dan dengan ini memerlukan kontrol negara yang semakin diperkuat dengan compliance, dipenuhinya proses penghormatan dan pemenuhan, hak asasi manusia dalam aktivitas kotra-terorisme mereka.

Hak ekonomi dan sosial, bagian penting dari paket hak asasi manusia yang ada di dalam DUHAM/UDHR yang kurang luas ditangkap sebagai komitmen yang asli dan efektif. Arah globalisasi yang terjadi sekitar ’80-an justru membuat promosi hak ini semakin sulit dibandingkan masa sebelumnya. Meski demikian, diperdebatkan dalam bab ini, bahwa versi neo-liberal globalisasi korporasi sekarang ini menjadi tidak menentu sebagai hasil dari perlawanan yang terus tumbuh atas arah tersebut. Sesungguhnya kemungkinan untuk mencapai globalisasi yang bertanggungjawab secara sosial terus timbul dan tumbuh, dimana semua hak asasi manusia, termasuk hak ekonomi dan sosial, akan memberikan penuntun proses kerjasama global.

2. Globalisasi Korporasi melalui Perluasan Pasar Neo-Liberal

Selama 25 tahun sesudah diadopsinya Piagam PBB, kehidupan ekonomi di Eropa Barat, Kanada, dan dalam tingkatan tertentu di Amerika Serikat ditandai dengan kerjasama antara modal, tenaga kerja/pekerja, dan negara, dengan inovasi kebijakan kesejahteraan dan tindakan negara dalam ekonomi seturut pola kebijakan Keynesian. Tetapi pertumbuhan globalisasi modal membuat penanganan makroekonomi nasional menjadi kurang efektif, dan dengan peningkatan kompetisi dari Jepang dan negara industri baru di Timur dan Asia Tenggara, kerjasama mulai terbongkar. Chang (2003, p.25) mencermati bahwa dengan peningkatan intensitas konflik distribusi (:pembagian kemakmuran -pen) berhadapan dengan perubahan struktural yang masif dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, konsensus politik yang saat itu ada mengenai negara kesejahteraan yang didasarkan pada proses tawar-menawar korporatis (:pola negosiasi, atau ko-determinasi –pen) runtuh, dan dengan ini, juga konsensus umum mengenai peran negara.

Aktor dan Pemikir Neo-Liberal

Pertengahan ’70-an, iklim politik mulai berubah. Sebagai pendahulu adalah pemilihan yang mengejutkan di tahun 1975 Margaret Thatcher sebagai pemimpin Partai Konservatif Inggris, dan sebagai ketua oposisi parlemen Inggris 1975-1979, dan tetap berada di psi itu hingga 1990. Ketika Ronald Reagan dipilih sebagai presiden AS di tahun 1980, dua kekuatan utama Barat menjalankan ideologi neo-liberal dengan sedikit memodernisasi dari ekonomi politik laissez-faire dari abad ke-19 yang dipertimbangkan telah kuno dan usang. Mereka mengeluarkan banyak energi untuk mematahkan pengaruh serikat buruh dan gerakan buruh, secara penting mengurangi pengeluaran publik dalam lapangan sosial dan kesehatan, dan mengadopsi pemotongan pajak untuk keuntungan kelompok kaya, dan mengerjakan deregulasi yang luas.

Agenda Neo-Liberal Margaret Thatcher termasuk privatisasi komprehensif lembaga publik seperti British Rail. Korporasi perkeretaapian yang diprivatisasi dihantam dengan beberapa kecelakaan serius dengan korban yang banyak, sebagian karena banyak pekerja dipecat, selagi manajer dari bisnis baru mengalami peningkatan drastis pada pendapatan mereka. Di AS, sedikit institusi publik yang diprivatisasi, tetapi yang diprivatisasi termasuk penjara –dan memang pengelolaan penjara ini menjadi aktivitas yang menghasilkan keuntungan ketika dikelola oleh pihak swasta, dengan pertambahan jumlah penghuni penjara.

Ideologi neo-liberal ditumbuhkan dengan beberapa teori dan asumsi normatif. Hal ini termasuk oleh tulisan filosof libertarian yang dengan dasar versi kontrak sosial mereka yang khusus berusaha mengurangi hak asasi manusia menjadi (hanya) sebagai otonomi personal dan perlindungan hak milik (Nozick, 1974); teoritisi ‘public choice’ yang didesakkan bahwa pegawai negeri/birokrasi didorong seluruhnya atau sebagian oleh kepentingan mereka sendiri, dan dengan ini terlibat atau mendukung ‘rent-seeking’ (penggalian rente) (Friedman and Friedman, 1980), atau kombinasi antara hal-hal ini (Hayek, 1978), dikombinasikan dengan kebangkitan teori ekonomi klasik yang mendesakkan manfaat dari perdagangan dan pertukaran internasional.

Ketika ekonom neo-liberal seperti F.A. Hayek dan Milton Friedman memberikan penjelasan yang lebih luas mengenai justifikasi kebijakan baru ini, sukses Margaret Thatcher adalah kemampuannya membangun komunikasi, dengan kegigihan dan keyakinan, serangkaian pandangan yang berhasil ia usahakan untuk mempersuasi sebagian besar masyarakat: argumen superioritas moral dari usaha individu dan retorika yang dirumuskan secara baik mengenai argumen efek demoralisasi dari tindakan negara, nilai kemandirian, dan pentingnya untuk hidup tidak melebih apa yang ada pada individu, nilai kohesi keluarga (merujuk kembali pada nilai-nilai jaman Victoria), dan rujukan populis pada hukum dan ketertiban, dan pada bahaya imigrasi (Deakin, 1994, p.78-79).

Dari kedua perspektif normatif dan empiris, kelemahan postulat ini mudah sekali untuk dicermati[3], tetapi perspektif ini dalam waktu yang lama sukses dan tidak diragukan lagi sesuai dengan kepentingan ekonomi kuat. Konsensus politik untuk tindakan negara dan stimulasi permintaan domestik dalam pola teori Keynesian dapat berfungsi dalam sistem ekononomi nasional yang secara relatif tertutup, tetapi dalam lingkungan ekonomi internasional terbuka, hal itu tidak mempunyai kekuatan yang sama. Korporasi swasta dapat melakukan transfer produksi ke negara lain untuk menghindar dari tuntutan yang ditimpakan pada mereka dalam konteks masyarakat dengan kebijakan kesejahteraan, dimana perpajakan untuk tujuan sosial dan upah pekerja yang layak menurunkan keuntungan, menjadikan lebih rendah daripada yang dapat didapatkan di negara lain ketika biaya pekerja amat lebih rendah dan biaya sosial hampir seluruhnya diabaikan.

Institutsi Bretton Woods dalam Peran Baru

Kebangkitan kembali ‘ideologi laissez-faire’ dalam sepanjang dekade yang mengerjakan kebijakan yang peduli sosial mempunyai alasan tersendiri di AS dan Inggris. Tetapi hal itu memunculkan dimensi global yang koinsiden dengan krisis hutang, yang meruntuhkan tulang punggung gerakan Dunia Ketiga dalam tata ekonomi internasional yang baru. Hal ini dimungkinkan karena adanya lembaga Bretton Woods[4], secara khusus IMF , yang berusaha mendapatkan peran yang sama sekali berbeda dari yang sebenarnya divisikan. Institusi ini menjadi semakin ditangani oleh ekonom yang menyingkirkan, atau tidak pernah berbagi keyakinan dan nilai Keynesian, tetapi justru lebih dekat pada jalur pemikiran Friedrich Hayek dan Milton Friedman.

Fungsi yang dimaksudkan pertama kali oleh IMF, yang pada keluasan tertentu dibangun prinsip Keynesian, telah diguncang dengan keputusan pemerintahan Nixon di AS di tahun 1971 untuk mengubah konvertibilitas dollar ke emas. Bank Dunia telah sebelumnya didirikan untuk mendukung rekonstruksi (awalnya Eropa) dan pengembangan ekonomi, selagi IMF didirikan untuk memelihara stabilitas ekonomi global. Serangan neo-liberal di tahun ’80-an telah mengubah hubungan mereka dan secara umum men-subordinasikan Bank Dunia di bawah IMF. Joseph Sitglitz, bekas Chief Economist di Bank Dunia dan penerima penghargaan Nobel untuk Ekonomi di tahun 2001, menggambarkan aspek transisi ideologis yang terjadi selama tahun-tahun itu (Sitglitz, 2002, p.6). Kerjasama erat antara IMF dan Departemen Keuangan AS, dimana IMF mengembangkan pengaruh yang luar biasa besar pada Bank Dunia. Di dalam Bank Dunia, ekonom lebih pluralistik, beberapa dari mereka tidak begitu saja diyakinkan oleh model neo-liberal. Staf juga terdiri dari pemikir ilmu sosial dan yang lainnya yang mempunyai pemahaman pembangunan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Di daerah aktivitas yang lebih vital, Bank Dunia, ikut dalam garis IMF.

Dikarenakan sebagian besar dari krisis hutang, IMF dan Bank Dunia di tahun ’80-an menjadi aktor sentral di ekonomi global, dengan kekuasaan yang tidak pernah diduga sebelumnya dalam menetapkan resep dan peneraman kebijakan moneter dan ekonomi bagi negara berkembang dan –di tahun ’90-an- juga bagi ‘negara dalam transisi’ yang muncul dari keruntuhan Uni-Soviet dan keruntuhan Tembok Berlin. Pengambilan keputusan pemerintah menyangkut isu sosial terkait dengan peraturan, perpajakan, pengeluaran publik, dan pengaturan jaminan sosial yang secara amat ketat diawasi secara khusus oleh IMF, yang siap menjatuhkan sanksi ekonomi berat jika negara berkembang tidak turut pada agenda neo-liberal.

IMF dan Bank Dunia adalah institusi utama yang menjadi rujukan negara jika mereka memerlukan tambahan pendanaan, apakah itu kesepakatan pembayaran hutang atau mengambil inisiatif pembangunan baru. Mereka –khususnya IMF- telah menjadi fungsi penjaga pintu, tetapi juga sebagai investasi asing swasta: jika IMF mendapati kebijakan makro-ekonomi negara berkembang tidak cukup disiplin, dan kemudian investor swasta potensial kemungkinan besar akan abstain dari usaha investasi di negara yang bersangkutan.

Konsensus Washington

Kaitan antara Departemen Keuangan AS dan institusi keuangan internasional selama masa pemerintahan Reagan/Thatcher memunculkan ‘Washington Consensus’ (Konsensus Washington). Menjadi cerminan dari agenda neo-liberal, tindakan konkret yang diproklamasikan dapat diringkaskan sebagai privatisasi yang mencakup banyak hal dalam perusahaan publik, deregulasi ekonomi, liberalisasi perdagangan dan industri, pemotongan pajak besar-besaran, tindakan monetaris untuk menjaga inflasi, kontrol ketat pada pekerja, pengurangan pengeluaran publik, khususnya pengeluaran sosial, merampingkan pemerintah, ekspansi pasar internasional dan penyingkiran kontrol pada aliran keuangan global (Steger , 2003, p.41).

Kebijakan structural adjustment yang diperjuangkan oleh IMF dan Bank Dunia mempunyai tujuan untuk mempromosikan kebijakan makroekonomi yang berkelanjutan di negeri yang dipengaruhi, tetapi dapat diperdebatkan apakah memang adjustment itu dikaitkan untuk melayani kepentingan korporasi besar dan investor asing. Privatisasi juga didorong, atau dipersyaratkan ketika meminta kredit. Perlindungan industri domestik dituntut untuk dikurangi. Devaluasi mata uang dituntut untuk dilakukan, dan dengan itu meningkatkan suku bunga. Pasar tenaga kerja yang ‘fleksibel’, terdiri dari pengurangan atau dihilangkannya perlindungan hak pekerja dengan judul ‘disiplin tenaga kerja’ termasuk dalam paket itu. Subsidi pangan diserukan untuk diakhiri. Regulasi dan standard yang terkait dengan investasi dikurangi atau dihilangkan sama sekali.

Selagi beberapa tindakan memang masuk akal dalam konteks tertentu, tuntutan yang digeneralisir dan selalu didesakkan dalam soal structural adjustment telah melucuti kekuatan negara miskin, dan membuat mereka semakin tergantung pada negara maju. Pemerintah perlu untuk meningkatkan ekspor untuk tetap membuat mata uang mereka stabil dalam mendapatkan nilai tukar yang dengan itu dapat menolong dalam pembayaran hutang, ettapi nilai komoditi primer menjadi jatuh berhubungan dengan biaya impor mereka. Pemerintah dengan ini harus mengurangi pengeluaran, mengurangi konsumsi, dan menghilangkan atau mengurangi regulasi keuangan. Di beberapa negara, khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara, dimana telah ada basis industri untuk mengimbangi kejutan dan untuk memfasilitasi munculnya kelas pe-bisnis baru yang amat mendapat manfaat dari kondisi baru dalam soal ekstrasi keutungan. Lainnya, harus dibayar harga karena perhatian yang kurang pada hak pekerja, akses ke pendidikan, layanan kesehatan, dan aspek lain dalam hak ekonomi dan sosial.

Kritisisme melawan tuntutan structural adjustment dan efek-nya pada kelompok miskin mulai muncul di akhir ’80-an (Cornia et al. 1987). Kritisisme IMF secara dramatis meningkat selama ’90-an. Tantangan ini baru-baru ini mencapai puncak baru ketika Joseph Stiglitz, chief economist di Bank Dunia di periode itu, membuka kebijakan menyesatkan IMF, dan kaitan ke Departement Keuangan AS, dan ketergantungan yang dipaksakan oleh IMF pada Bank Dunia (Stiglitz, 2002, 2003).

Masalahnya adalah kelompok ekonom di IMF tidak sekedar hanya memberikan nasehat ekonomi; persyaratan berpengaruh pada rentang-lebar kebijakan nasional di wilayah jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, hubungan perburuhan, dan lainnya, dan resep mereka secara praktis mengikat. Dengan itu, mereka telah mengambil alih apa hal-hal yang menjadi wilayah dari pengambilan keputusan secara demokratis oleh politisi yang dipilih di negara yang bersangkutan. Di atas segalanya, bagi para ekonom itu, hak asasi menjadi tidak relevan, khususnya yang menyangkut hak ekonomi dan sosial.

WTO:Perdagangan, bukan Pembangunan

Pada Piagam Havana 1948 soal Perdagangan dan Ketenagakerjaan (1948 Havana Charter on Trade and Employment) yang memvisikan sebuah Organisasi Perdagangan Internasional, yang kemudian diikuti dengan yang waktu itu menjadi bentuk penting dari model kerjasama antar-negara. Ide ini gagal karena secara khusus ada penolakan oleh Kongres AS. Ketika negosiasi yang diikuti berikutnya dengan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang menjawab beberapa kebutuhan itu, tetapi ada jurang-jarak atas apa yang diperlukan untuk diisi dengan mekanisme institusi yang lebih baik. UNCTAD didirikan di tahun 1964, dan diberikan peran sebagiannya untuk mendorong pengaturan perdagangan yang lebih adil dan pengaturan yang lebih baik dalam soal pembiayaan pembangunan, mempertimbangkan masalah secara khusus dari negara berkembang. Sejak 1995, lembaga ini dibayangi oleh pendirian World Trade Organization (WTO) yang, sebagai hasil dari ‘Uruguay Round’ dari tahun 1986 ke 1994, berusaha untuk mengatasi krisis di GATT yang timbul dari kebijakan neo-liberal yang baru.

WTO berbeda secara penting dari UNCTAD, telah tampak dari nama mereka: W berarti ‘World’ dan bukan UN (United Nations, PBB) sebagaimana yang ada di UNCTAD. Hal ini disengaja: negara industri besar tidak ingin organisasi perdagangan menjadi bagian dari sistem PBB. Kedua, sedang dalam ‘TAD’ di UNCTAD berarti Trade and Develompment, dan ‘T’ di WTO hanya berarti Trade, tidak memasukkan D (development, pembangunan). Tidak ada dalam nama, tidak juga ada dalam praksis, WTO bukanlah organisasi pembangunan.

Sebagian terbesar perdagangan antara korporasi, atau bahkan antara cabang berbeda dalam satu korporasi. Riset menunjukkan bahwa korporasi multinasional mencakup sampai pada 70% dari seluruh perdagangan internasional (Held et al., 1999). WTO menjalankan fungsi untuk memfasilitasi orientasi ekspor dalam manan komponen pokok Washington Consensus, dan penting bagi perluasan korporasi.

dari Kemakmuran Bangsa-Bangsa (Wealth of Nations) ke Kemakmuran Korporasi (Wealth of Corporations)

Adam Smith (1776) menyatakan kompetisi bebas dalam pasar swasta dengan regulasi dan tindakan negara yang terbatas menjadi resep yang terbaik untuk penciptaan kemakmuran. Kritik dia atas apa yang waktu itu menjadi praktek merkantilisme secara jelas dapat dijustifikasi, tetapi resep itu tidak mencapai hasil yang diharapkan –dan resepnya mungkin juga tidak tepat dirumuskan oleh para liberal-modern.

Alih-alih menciptakan kemakmuran bansa dalam arti kemakmuran yang dinikmati bersama oleh orang yang hidup di sana atau: dalam banga-bangsa itu?, proses terkini dari globalisasi pasar telah membuat korporasi multinasional bukan hanya menjadi aktor primer, tetapi juga pengumpul utama kemakmuran. Globalisasi korporasi telah memulai membalikkan apa yang pernah menjadi “salah satu kemenangan besar hak asasi” di abad ke-20, yaitu “mengendalikan pasar modal dengan negara kesejahteraan (welfare-state)” (Jack Donelly in Brysk, 2002 p.232)

Bentuk-bentuk terkini globalisasi pasar sekarang ini terdiri dari perdagangan barang dan jasa yang semakin dideregulasi, dan dalam jejaring keuangan yang semakin mengglobal. Hal ini dikaitkan dengan tekanan pada privatisasi dan transformasi kebutuhan publik (public goods) yang tersedia untuk semua, menjadi kebutuhan swasata (private goods) yang disediakan korporasi besar bagi mereka yang dapat membayar. Korporasi multinasional mengalami pertumbuhan luar biasa dan mencapai cakupan global. Jejaring yang dekat telah menumbuhkan bentuk baru antara MNCs dan lembaga keuangan swasta. Bersama mereka mempunyai pengaruh yang kuat pada lmebaga keuangan internasional publik, khususnya grup Bank Dunia dan secara khusus IMF, sebagian melalui pemerintah dari negara tuan rumah dari korporasi besar, dan sebagian secara langsung.
Tidak hanya kemakmuran korporasi menunjukkan peningkatan yang mencengangkan, tetapi pendapatan kepala korporasi (CEOs dan lainnya) meroket pada saat upah pekerja ditekan dan memecat pekerja dengan alasan “perampingan” mengalami peningkatan. Dsengan privatisasi, pimpinan korporasi dan investor mampu mengumpulkan keberuntungan saat pekerja dipecah dan layanan publik seringkali membusuk dan menjadi semakin sulit diakses bagi mereka yang mempunyai daya beli yang rendah (Chang, 2003, p.183). Superioritas moral yang diargumenkan oleh dunia usaha swasta secara fundamental diguncang dengan kecurangan besar dan kasus-kasus korupsi dalam korporasi swasta selama tahun ’90-an, sebuah perkembangan hanya mungkin karena deregulasi dan melemahnya peran negara. Analisis yang amat jelas mengenal faktor-faktor saling-sebab dijabarkan oleh Stiglitz (2003) dalam bukunya, Roaring Nineties.

Diantara contoh paling drastis mengenai biaya yang harus dibayar ketika pasar yang tidak diregulasi dianggap utama adalah Enron, WorldCOm dan banyak korporasi lain di Amerika Serikat, Parmalat di Italia, Vivendi di Perancis, dan Ahold di Belanda.

Globalisasi ekonomi dapat membawa pada integrasi transnasional antar elit ekonomi dunia–mencakup jumlah yang penting di negara maju tetapi sedikit di negara berkembang- sedang pada saat yang sama itu membawa pada disintegrasi nasional. Ketika lokalitas produksi dan lokalitas konsumsi semakin disingkirkan, investor dan korporasi tidak lagi tergantung pada dukungan penduduk lokla melampui kebutuhan kebutuhan akan akses pada buruh murah. Kaitan antara pekerja sebagai produser dan pekerja hilang. Pengusaha memindahkan produksi mereka ke tempat dimana biaya pekerja murah tetapi dijual ke tempat dimana upah dan pendapatan kesejahteraan cukup baik. Hal ini, tentu saja, tidak bisa berkelanjutan dalam jangka waktu lama, tetapi hanya negara yang melakukan tindakan yang dapat mencegah hal ini berakibat buruk lebih jauh. Kehendak dan kapasitas negara tetaplah penting, tetapi banyak yang sudah dierosi.

3. Dalam Konteks Globalisasi

Pembangunan Berbasis-Hak Tidak dapat Dicapai melalui Isolasi Nasional

Jelas dari Piagam PBB dan Millenium Declaration PBB bahwa negara harus menjadi blok-pembangun dari pondasi tata dunia. Kapasita mereka harus dikembangkan untuk memperjuangkan pembangunan berbasis hak melalui penghormatan pada dan pewujudan semua hak asasi manusia, termasuk hak ekonomi dan sosial.

Tetapi hal ini tidak dapat dilakukan dengan pendekatan autistik mirip dengan apa yang diperjuangkan oleh banyak negara menjelang Perang Dunia II. Kebijakan itu memberikan kontribusi penting pada munculnya perang, dan menjadi tujuan pokok PBB untuk mendorong dan memfasilitasi kerjasama global untuk mencegah hal tersebut terjadi lagi. Contoh ekstrem Pra-Perang Dunia II adalah ‘national-socialism’ oleh Hitler di Jerman. Hal itu muncul sebagai konsekuensi dari kekacauan ekonomi dan kesengsaraan sebagian karena pampasan perang yang dipaksakan pada Jerman sesudah Perang Dunia I, dan kekacauan itu semakin diperparah dengan Resesi Dunia (Great Depression) yang kemudian memunculkan spekulasi keuangan liar di Amerika Serikat. Tetapi jawaban Hitler atas kesengsaraan warga Jerman adalah suatu bentuk ekstrem dari nasionalisme. Itu memunculkan arah yang amat sangat buruk, termasuk pemusmahan fisik terhadap mereka yang tidak termasuk dalam etnis-bangsa, volksfremde. Ketika holocaust diarahkan pada Yahudi dan Gipsi dalam wujud yang amat mengerikan, kegilaan nasionalisme yang dimanipulasi menciptakan rasa megalomania mengenai tujuan kolektif yang kemudian meledak dalam Perang Dunia II.

Ketika pendekatan Jerman menjadi ekstrem, otoritarian sejenis dan nasionalisme eksklusif dikerjakan di negara lain di Eropa Kontinental, termasuk Italia dengan Mussolini, Spanyol dengan Franco, Romania dengan ‘Iron Guard’, dan dengan ideologi berbeda juga dengan Stalin dan kebijakan “sosialisme di satu negara”. Militerisme Jepang mempunyai akar yang sama meskit ada faktor lain yang memainkannya.

Selagi perkembangan politik sebagian adalah hasil usaha untuk memulihkan atau menciptakan suatu jenis jaminan sosial bagi inti ‘bangsa’, ini adalah jalan menuju ke perbudakan. Pada keluasan itu, Hayek (1944) benar, meski diat tidak mengambil pelajaran yang penting. Pendekatan nasionalistik otoritarian pada jaminan sosial merupakan resep bagi konflik dan perang. Persis inilah yang sebenarnya PBB maksudkan untuk dicegah di masa mendatang, melalui persyaratan dual hak asasi manusia di dalam negara, dan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah bersama dalam ekonomi, sosial, dan lapangan lainnya.

Diperlukan: Kerjasama Global

Pembangunan berbasis-hak, dengan negara sebagai penjamin dan fasilitator sentral, harus diperjuangkan dalam konteks kerjasama global. Roosevelt mengekspresikan hal ini dalam pidato “Four Freedom” tahun 1941:

Kebebasan dari Keinginan (Freedom from Want), diterjemahkan dalam istilah dunia, berarti pengertian ekonomi dengan yang hal itu akan mengamankan setiap bangsa sebuah kehidupan masa damai yang sehat bagi seluruh penduduknya –dimanapun di dunia. (Roosevelt 1941)

Pentingnya tugas ke masa depan adalah menggerakkan ekspansi pasar korporasi menuju globalisasi yang lebih adil dan peduli sosial. Ada 3 panduan penting untuk tugas tersebut: Declaration and the Programme of Action of the World Conference on Human Rights (‘Vienna Declaration 1993’), UN Millenium Development Goals (MDG 2000), dan laporan World Commission on the Social Dimension of Globalization (ILO, 2004). Pondasi dari itu semua dapat ditemukan dalam DUHAM/UDHR pasal 28, bersama dengan komitmen yang dibuat oleh semua anggota PBB untuk bekerja sama dalam pencarian solusi masalah internasional dalam soal sosial, ekonomi, kultural, dan kemanusiaan (humaniter), dan dalam promosi hak asasi manusia.

CESCR menunjukkan bahwa, dalam sebuah keputusan yang diadopsi di tahun 1998, bahwa risiko serius yang inheren dalam bentuk dan arah globalisasi yang ada sekarang ini dapat dijaga atau dikompensasi, jika kebijakan yang memadai diambil. CESCR (1998, para.515) prihatin bahwa

…sedang banyak energi dan banyak sumberdaya telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mempromosikan trend dan kebijakan yang terkait dengan globalisasi, usaha yang dibuat tidaklah cukup dalam memunculkan pendekatan baru dan saling melengkapi yang dapat meningkatkan kompatibilitas dari trend dan kebijakan itu dengan penuh penghormatan pada hak ekonomi, sosial, dan kultural. Kemampuan kompetitif, efisiensi dan rasionalisme ekonomi tidak boleh dijadikan kriteria primer dan eksklusif dimana kebijakan pemerintah dan antar-pemerintah dievaluasi.

CESCR dengan ini menyerukan komitmen yang diperbaharui untuk menghormati hak ekonomi, sosial, dan kultural. Ditekankan bahwa organisasi internasional sebagaimana juga negara-negara yang menciptakan dan sekarang ini menanganinya, mempunyai tanggungjawab kuat dan terus-menerus untuk mengambil langkah apapun yang mereka dapat lakukan untuk membantu negara dengan cara yang kompatibel dengan kewajiban hak asasi manusia dan untuk mencari dan mengerjakan kebijakan dan program yang mempromosikan penghormatan atas hak-hak itu. Secara khusus, adalah penting untuk menekankan bahwa wilayah perdagangan, keuangan, dan investasi tidak bisa dikecualikan dari prinsip umum ini, dan organisasi internasional yang mempunyai tanggungjawab spesifik di wilayah-wilayah itu, harus memainkan peran positif dan konstruktif dalam relasinya dengan hak asasi manusia.

Area Utama untuk Bertindak

Proyek globalisasi korporasi neo-liberal sekarang ini jatuh pada ketidakjelasan. Kekuatan balik sekarang ini menemukan momentum dan membangun kekuatan untuk mentransformasikan itu. Seruan untuk pembagian yang lebih setara terus berulang, berulang, dan berulang, seperti yang ada dalam Millenium Declaration. Teori ekonomi semakin lama semakin menentang doktrin neo-liberal, melalui Dani Rodrik (1997), Amartya Sen (1999), Joseph Stiglitz (2002), Haa Joon-Chang (2003) dan banyak lainnya. Tetapi pembagian yang lebih adil tidak dapat dicapai tanpa perubahan penting dalam nilai dan institusi dan struktur pengambilan keputusan. Dalam pemaparan ringkas, secara umum diakui bahwa perubahan penting soal arah haruslah dilakukan. Siapa, kemudian, aktor yang dapat membawakan perubahan, dan langkah apa yang harus mereka ambil.

4. Corporate Responsibility

Sebagaimana telah dicatat, korporasi multinasional memainkan peranan dominan dalam proses globalisasi melalui investasi, produksi, dan perdagangan mereka. MNCs digambarkan sebagai pengait penting pada ekonomi dunia terkini. Mereka diperkirakan mencapai sampai pada 70 persen dari perdagangan dunia (Held et al., 1999). Sejumlah tindakan diharuskan untuk memastikan bahwa korporasi mempunyai dampak yang lebih positif pada dinikmatinya hak ekonomi dan sosial. Tugas terpenting adalah untuk memperkuat kemauan (will) dan kapasitas negara untuk melakukan regulasi atas aktivitas korporasi untuk membuat hal-hal itu kompatibel dengan fungsi kesejahteraan dari negara, tanpa menutup fungsi positif yang ada. Rentetan kejadian berupa skandal korporasi, yang digambarkan dan dianilisis secara kritis oleh Joseph Stiglitz (2003), telah semakin meningkatkan kebutuhan akan perubahan yang mendalam, mesin regulasi yang lebih baik dan dapat ditegakkan, dan akuntabilitas yang besar.

Dihasilkan dari kritisisme ekstensif organisasi hak asasi manusia saat korporasi terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, beberapa dari mereka mulai membangun kode tindak laku (code of conduct) sukarela. Sejauh ini, hal-hal itu amat diekspresikan dalam ketentuan yang etis dan menghasilkan hasil yang terbatas dalam soal bagaimana merubah tindak-tanduk korporasi. Di tingkat internasional, semakin banyak kebutuhan harus dijawab untuk memastikan penghormatan dan penegakan hak asasi oleh korporasi. Awal yang baik telah dibuat dengan penetapan ‘Global Compact’ melalui inisiatif Sekjen PBB, yang berusaha untuk mempromosikan kewargaan korporasi dalam ekonomi dunia dengan mendorong mereka untuk menghormati dan menegakkan (comply) hak asasi manusia termasuk hak-hak pekerja, peraturan lingkungan, dan memperjuangkan tindakan anti-korupsi[5]. Usaha ini, selagi patut dipuji, masih amat kabur dalam pengharusan, dan juga hal itu seluruhnya sukarela dan tanpa adanya mekanisme monitoring yang efektif –alasan yang dikemukakan oleh beberapa kritik yang mengamati ‘Global Compact’.

Inisiatif yang lebih menjanjikan telah diambil oleh Sub-Commission (2003), yang mengadopsi draft Norms on the responsibilities of transnational corporations and other business enterprises with regard to human rights, sekarang ini dalam pertimbangan dalam UN Commission on Human Rigths. Jika hal ini kemudian harus diadopsi, dalam bentuk yang ada sekarang atau revisinya, hal itu dapat memunculkan beberapa fungsi: pertama, sebagai panduan pada korporasi itu sendiri mengenai bagaimana mereka dapat turut pada prinsip hak asasi manusia, kedua, sebagai panduan untuk negara dalam soal regulasi yang harus ditetapkan dan desakkan pada korporasi yang beroperasi di teroitori mereka, dan ketiga, sebagai basis monitoring internasional bagi aktivitas korporasi dari perspektif hak asasi manusia.

Haruslah dicatat bahwa selagi sedikit dukungan meski dari korporasi penting atas inisiatif ini, mayoritas korporasi masih melawan, dan juga institusi yang tergabung pada mereka –International Chamber of Commerce. Adalah penting bahwa gerakan hak asasi manusia terus melakukan tekanan efektif dengan monitoring mekanisme pengaduan terhadap korporasi. Korporasi haruslah dibawa untuk mengakui tanggungjawab mereka bukan hanya pada pemilik saham melainkan juga pada pekerja dan supplier seperti petani kecil yang, misalnya, memproduksi kopi atau kokoa. Yang belakangan ini tidak boleh dihempaskan oleh korporasi yang kuat dan rantai pangan yang kuat. Jika korporasi merusak atau melemahkan kehidupan produser kecil, mereka haruslah dibawa pada pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuat.

4.1. Kontrol dan pajak atas aliran keuangan

Liberalisasi keuangan yang meluas telah membatasi sekaligus negara kaya dan miskin untuk membangun dan memelihara rejim perpajakan yang memuaskan. Beban pajak telah berubah dari pemegang modal yang amat mobil yang semakin lama mampu memainkan yurisdiksi pajak yang satu ke yang lain, ke bisnis yang relatif tidak mobil dan bisnis kecil. Kompetisi pajak antar negara telah membawa erosi gradual atas pendapatan negara –krisis negara kesejahteraan, yang terjadi persis saat ketika dana untuk program sosial amat dibutuhkan untuk menjadi benteng bagi dislokasi sosial yang diakibatkan oleh globalisasi (CESCR, 2001, para.25)

Beberapa bentuk regulasi pada aliran keuangan adalah penting. Satu proposal adalah inisiatif Tobin Tax yang terdiri dari pajak penjualan atas perdagangan mata uang ke semua lini perdagangan, yang asalnya diusulkan oleh James Tobin, penerima nobel Ekonomi dari Universitas Yale. Pajak Tobin dapat diberlakukan di tingkat domestik dengan penetapan dari lembaga perwakilan nasional, tetapi mensyaratkan kerjasama multilateral untuk dapat diberlakukan. Halangan terbesar adalah untuk mendapatkan kemauan politik yang perlu bagi pengadopsian kesepakatan internasional dalam subyek ini, yang dapat didapatkan melalui mobilisasi warga negara secara masif. Proposal, jika diterapkan, akan dapat mencegah krisis keuangan dan dapat mungkin menyediakan dana 100 sampai 200 milyar dollar untuk memenuhi prioritas global yang urgent, seperti mencegah pemanasan global, penyakit, dan kemiskinan[6].

4.2. Melibatkan lembaga keuangan internasional dalam pembangunan berbasis-hak

Selama 2 dekade, sudah ada kritik yang luas oleh sarjana hak asasi manusia dan badan hak asasi manusia internasional terhadap lembaga keuangan internasional, secara khusus IMF dan Bank Dunia. Sebagaimana telah didiskusikan, IMF menjadi yang terkemuka dalam memaksakan structural adjustment pada negara berkembang dan negara dalam transisi. Ketika pensyaratan ini hanya berupa ketentuan yang tidak mengikat , faktanya hal itu mendekati keharusan, karena IMF dan Bank Dunia nyatanya bertindak sebagai penjaga pintu bagi investasi swasta, yang dimana negeri yang amat dibebani oleh hutang jelas tidak dapat berharap dapat mencapai kemajuan. Nyaris tidak ada keraguan bahwa IMF secara khusus telah, sebagaimana dijabarkan di atas, melayani kepentingan dunia korporasi dan berada dalam kontak yang dekat dengan Departemen Keuangan AS, yang nyaris tidak mempunyai perhatian pada konsekuensi sosial dari pensyaratan yang mereka paksakan (Siglitz, 2002).

Meningkatnya transparansi dalam lembaga keuangan internasional adalah utama. Lembaga-lembaga ini harus secara serius memperhatikan penilaian kritis yang meluas atas aktivitas mereka, jika kebijakan mereka berkembang menjadi langkah yang kredibel dan berimbang. Atau, sebagaimana Oloka-Onyanga dan Udagama (Sub-Commission, 2001, p.69):

Kebijakan-kebijakan mereka tidak dapat dipaksa pada masyarakat sebagai dogma yang tidak dapat diserang dan tidak kontroversial yang dianggap menjadi satu-satunya jalan pada penyelamatan ekonomi.

Ketika di tahun-tahun belakangan ini IMF benar-benar memberi perhatian pada pengurangan kemiskinan, mereka masih beroperasi dalam paradigma neo-liberal dan tidak menjanjikan perbaikan substansial apapun dalam soal penghormatan dan dukungan pada hak ekonomi dan sosial bagi mereka yang tidak dapat menjadi pemain pasar yang efektif.

Dalam tahun-tahun awal Washington Consensus, Bank Dunia berjalan amat seiring dengan IMF, tetapi mulai menjadi lebih peduli sosial setelah di tahun 1995 ketika James Wolfhnsohn menjadi Presiden grup Bank Dunia. Program Poverty Reduction Group dan Social Development Department dari Bank Dunia semakin terus memperjuangkan Social Impact Analysis, meski hal ini masih membatasi tidak pada konsekuensi pengambilan keputusan dalam Bank Dunia. Ada juga bahaya bahwa kepedulian sosial dalam Bank Dunia mungkin menurun ketika James Wolfhnsohn selesai masa kerja-nya di Bank Dunia pada musim panas 2005, dan digantikan oleh Mr. Wolfowitz, yang ditunjuk sebagai pengganti oleh Pemerintahan Bush dari Amerika Serikat[7].

Aman untuk dikatakan bahwa pemisahan fungsional dari lembaga Bretton Woods dari “PBB umum”[8] mempunyai konsekuensi negatif pada evolusi kebijakan pembangunan dari komunitas internasional. Kekuasaan voting dari lembaga itu sedemikian rupa sehingga secara eksklusif mewakili negara-negara terkaya, yang bersama mereka berada markas besar korporasi besar dan utama.

Perhatian serius adalah bahwa lembaga Bretton Woods, secara khusus IMF, tidak mengakui kewajiban yang mereka punyai dalam hukum hak asasi manusia internasional, meski mereka mempunyai kepribadian internasional, dan fakta bahwa sebagian terbesar dari mereka diikat oleh instrumen utama hak asasi manusia internasional[9], mempertimbangkan dengan sepenuhnya kewajiban negara mereka dalam hak asasi manusia internasional. Prinsip Tilburg “The World Bank, IMF, and Human Rights” dijabarkan oleh kelompok ahli selama 2000-2002, menyediakan detail soal tanggungjawab hak asasi manusia lembaga Bretton Woods, dan bagaimana tanggungjawab harus diterapkan (van Genugten et al., 2003).

Adalah berharga menyerukan seruan pada lembaga Bretton Woods oleh CESCR dalam keputusan di tahun 1998 ketika CESCR menyerukan pada IMF dan Bank Dunia untuk semakin memperhatikan aktivitas mereka untuk menghormati hak ekonomi, sosial, dan kultural, termasuk mendorong pengakuan eksplisit dari hak-hak ini, membantu identifikasi pembanding-terbaik spesifik-negara untuk memfasilitasi usaha promosinhya, dan memfasilitasi pengembangan tindakan remedial yang pantas untuk menjawab pelanggaran-pelanggaran. Jaring pengaman sosial harus dietapkan dengan rujukan pada hak-hak ini dan peningkatan perhatian harus diarahkan menurut metode-metode perlindungan kelompok miskin dan rentan dalam konteks program structural adjustment. Monitoring sosial yang efektif harus menjadi bagian integral pada peningkatan pencermatan (surveillance) dan monitoring keuangan dalam menyertai kredit dan hutang untuk tujuan penyesuaian (CESCR, 1998).

4.3. Mengubah arah WTO: dari free trade ke fair trade

Sejak korporasi multinasional mencapai 70% dari perdagangan internasional, adalah pantas mengklaim bahwa kesepakatan WTO dan implementasinya amat dipengaruhi oleh kepentingan dari korporasi itu. Sedang tidak ada ketidaksetujuan bahwa perdagangan internasional adalah penting, perdagangan yang secara keseluruhan tidak diregulasi akan menghasilkan ketaksetaraan yang amat sangat bagi negara-negara yang berbeda dan kelompok-kelompok yang berbeda dalam satu negara. Modifikasi penting dalam regulasi perdagangan internasional dengan ini diperlukan untuk memfasilitasi pembangunan berbasis-hak. Perdagangan ini bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, tetapi alat yang dapat berguna bagi pembangunan ekonomi dan sosial, melihat jika hal itu diregulasi secara memadai, memperhatikan konteks dan kepentingan yang berbeda dalam pertimbangan. Perdagangan yang adil perlu memperhatikan dampak sosial dalam proses liberalisasi. Penjagaan yang perlu haruslah dibuat secara sekaligus di tiap tahap liberalisasi, hal-hal itu tidak dapat ditunda hingga kemudian –dan jika tidak dapat diadopsi, liberalisasi tidak boleh dijalankan. Perhatian pembangunan harus lebih kuat dalam negosiasi WTO. Detail lebih jauh dan proposal konstruktif pada regulasi perdagangan disediakan oleh World Commission on the Social Dimension of Globalization (ILO, 2004, paras. 368-386).

Masalah khusus bagi pembangunan berbasis-hak adalah Trade-Related aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Agreement, yang membentuk bagian dari Kesepakatan WTO. Sebagaimana dicermati oleh World Commission on the Social Dimension of Globalization, aturan adil diperlukan untuk menjaga keseimbangan kepentingan produsen teknologi dan pengguna teknologi, khususnya mereka di negara pendapatan rendah kepada mana akses pengetahuan dan teknologi dibatasi. Isu penting bagi negara berkembang termiskin adalah masalah tidak adanya kapasitas kelembagaan, dan kompetisi bagi sumber daya dengan tujuan pembangunan lain ketika hal itu dibangun. TRIPS mungkin telah menyingkirkan keseimbangan. Hal ini seringkali mencegah akses pada obat yang dapat menyelamatkan kehidupan dengan harga terjangkau, dan hal itu tidak secara memadai melindungi akses terbuka atas pengetahuan tradisional yang telah lama berada pada ranah publik. Pengecualian dan fleksibilitas yang memang ada dalam kesepakatan TRIPS harus digunakan secara penuh, tetapi mungkin ada kebutuhan untuk renegosiasi pada beberapa poin penting:

Melihat fakta bahwa TNCs adalah pemegang persentase terbesar dari Intellectual Property Rights (IPRs), adalah jelas bahwa tenaga utama pada negosiasi yang lebih mendukung peningkatan kekuatan monopoli korporasi. Keprihatinan diekspresikan mengenai TRIPS yang mengkonsentrasikan kepemilikan IRPs di negara maju dan aktor kuat non-negara dengan ini dapat dimengerti… Bahaya adalah bahwa kontrol monopoli itu dapat diberikan prioritas yang lebih tinggi daripada memastikan pewujudan realisasi hak atas kesehatan, pangan, akses atas informasi dan hak atas pendidikan (Sub-Commission, 2001, para.20)

Aplikasi aturan WTO haruslah dibuat konsisten dengan syarat-syarat hak asasi manusia. Hal itu tidak boleh dikurangi atau menyerang ruang yang perlu bagi negara untuk memenuhi kewajiban hak asasi manusia bagi penduduk mereka.

5. Concluding Remarks: Tata Pemerintahan Global bagi Globalisasi yang Peduli Sosial

Pemerintah global tidaklah mungkin tidak juga diperlukan, tetapi tata pemerintahan global melalui koherensi kebijakan yang lebih baik antara lembaga dan agensi internasional yang beragam yang terlibat dalam kerjasama internasional adalah mungkin. Mungkin set proposal terbaik bagi hal ini dapat ditemuka dalam laporan World Commission on the Social Dimension of Globalization. Beberapa poin penting haruslah diarahkan pada pengakuan pengambilan-keputusan ekonomi global yang terkonsentrasi pada sedikit negara, dan hal ini tidak dapat ditanggung lebih lama lagi. Ketegangan meningkat: polarisasi yang amat tidak sehat telah muncul antara mereka yang mengambil keuntungan dari arah globalisasi yang ada sekarang dan mereka yang dicelakakan karenanya. Hal ini tidak boleh berlanjut dengan cara itu. Tetapi sebagaimana sekarang ini ada, dunia tidak mempunyai mekanisme kelembagaan formal untuk memastikan bahwa semua suara yang menghadirkan semua bagian relevan didengarkan dalam diskusi atau mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi. Hal ini haruslah diberikan tindakan remedial.

Secara kelembagaan, satu kemungkinan harus dipulihkannya peran pada Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UN Economic and Social Council –ECOSOC) yang sebenarnya sudah dimandatkan Piagam PBB, yaitu untuk mempromosikan koordinasi kebijakan global dalam lapangan ekonomi dan sosial. Pukulan terberat bagi kemungkinan ECOSOC untuk menjalankan tanggungjawab adalah pemisahan fungsional lembaga Bretton Woods dari PBB, dan menetapkan WTO sama sekali di luar PBB.

Segala hal ini tidaklah mungkin dalam jangka waktu dekat, bahwa ECOSOC dapat mendapatkan peran koordinasi yang dimaksudkan untuk dipunyai, langkah penting dapat diambil untuk menggerakkan kita pada arah itu.

ECOSOC dapat mengambil inisiatif untuk meningkatkan kerjasama antar badan yang terlibat dalam riset, atau monitoring dari dampak sosial globalisasi, dan memberikan fokus yang lebih baik riset, dan memastikan ketersediaan informasi yang detail mengenai siapa yang menjadi pemenang, siapa yang kalah –dijabarkan menurut kategori gender, etnisitas dan ras, pedesaan dan perkotaan, Utara dan Selatan, Timur dan Barat. Informasi yang lebih baik, semakin mungkin tindakan yang memadai diambil.

ECOSOC haruslah menindaklanjuti rekomendasi World Commission on the Social Dimension of Globalization untuk mengundang semua Kepala Eksekutif dari sistem multilateral untuk mempertimbangkan isu untuk Policy Coherence Initiatives dengan agensi lain. (ILO, 2004, paras. 608-614). World Commission mengajukan proposal untuk Kepala Ekskutif dari badan PBB, Bank Dunia, IMF, WTO dan ILO haruslah dalam tahap pertama secara bersama, dan berikutnya secara terpisah menjawab pertanyaan pertumbuhan global, investasi, dan penciptaan pekerjaan, dan bergerak menuju Policy Coherence Initiative. Mereka dapat membangun saran mengenai bagaimana mereka dapat secara bersama memajukan penciptaan kerja, dan pengurangan kemiskinan, mengurangi ketaksetaraan Gender dan pemajuan pemberdayaan perempuan, integrasi ekonomi informal dalam arus utama ekonomi, dan melindungi hak kunci pekerja, pendidikan, kesehatan, keamanan pangan, dan penempatan perumahan manusia.

Di antara isu yang harus diberikan prioritas perhatian adalah kebutuhan untuk men-set standard jelas bagi corporate social responsibility untuk memastikan globalisasi yang fair, dan untuk membangun monitoring efektif bagi tujuan tersebut. Organisasi internasional majikan dan organisasi serikat buruh internasional harus terlibat dalam tugas ini.

Di dalam peran ECOSOC atau melalui jalur kerjasama lain, lembaga yang sama seharusnya bekerja bersama untuk menciptakan kerangka kerja pembangunan bagi investasi asing langsung (foreign direct investment), mengimbangkan hak dan kewajiban investor (baik domestik dan internasional), negara penerima dan asal, melibatkan sepenuhnya dampak sosial sebagaimana yang diajukan sebagai proposal oleh World Commission (ibid., para.399).

Tugas paling fundamental, bagaimanapun, adalah untuk memastikan Policy Coherence Initiative men-set premis dasar bagi kerjasama global sebagai langkah asuransi proteksi sosial bagi semua segaris dengan hak ekonomi, sosial, dan kultural. Inisiatif ini haruslah segaris untuk pensyaratan DUHAM/UDHR pasal 28. ■

[1] Catatan terjemahan:

1. Terjemahan oleh Henry Simarmata

2. Penterjemah sudah mendapatkan ijin dari penulisnya untuk mempublikasikan beberapa hal dalam tulisan ini bila dianggap perlu.

3. Redaksi Jurnal FPBN sudah mendapatkan ijin dari penterjemahnya untuk mempublikasikan dalam Jurnal Perburuhan beberapa hal yang dianggap perlu tersebut.

4. Artikel ini banyak memakai frase yang operasional (“operative phrase”) sehingga terjemahan sejauh mungkin menjelaskan makna operasional itu.

5. Jika terdapat pertentangan makna, pembaca dapat bebas membuat terjemahan baru, atau kembali pada teks bahasa Inggris-nya.

[2] Asbjørn Eide saat ini adalah Senior Fellow di Norwegian Centre for Human Rights di Universitas Oslo, dimana dia pernah menjadi Direkturnya dari tahun 1987 sampai 1988. Saat ini dia adalah profesor tamu di Fakultas Hukum di Universitas Lund, dan pernah menjadi Profesor Torgny Segerstedt di Universitas Gothenburg, Swedia. Sepanjang 20 tahun, dia pernah menjadi anggota Sub-Komisi HAM PBB untuk Proteksi dan Promosi dan bertanggungjawab atas berbagai studi di Sub-Komisi, termasuk “The Right to Adequate Food as a Human Rights’ (Hak atas Pangan yang Memadai sebagai Hak Asasi Manusia), di Sub-Komisi 1987.

[3] lihat sebagai contoh Chang (2003)

[4] Institusi Bretton Woods termasuk grup Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF, International Monetary Fund)

[5] untuk informasi lebih jauh lihat http://www.un.org/Depts/ptd/global.htm

[6] untuk informasi lebih lajut lihat http://www.ceedweb.org/iirp/factsheet.htm

[7] Presiden grup Bank Dunia selalu warga negara AS

[8] Mereka ini secara formal terdaftar sebagai specialized agency dalam keluarga PBB, tetapi mempunyai sistem voting yang sama sekali berbeda dari lembaga-lembaga lain dalam PBB.

[9] Kewajiban hak asasi manusia dari lembaga Bretton Woods digambarkan dan dianalisis oleh Skogly (2001)

Labels: Hak ekonomi dan sosial

# posted by Forum Pendamping Buruh Nasional : 12:22 AM
read more “Pentingnya Hak Ekonomi dan Sosial di Jaman Globalisasi Ekonomi[1]”

Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Bidang Ekonomi Meningkat

Rabu, 11 Maret 2009
Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Bidang Ekonomi Meningkat
Kategori: Berita Sosial&Budaya (20 kali dibaca)

Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Bidang Ekonomi Meningkat

Paguyuban Pekerja Muda Peduli - Young Christian Worker Indonesia (PPMP-YCW Indonesia) menilai perempuan merupakan kaum yang paling miskin dari segi upah buruh. Pemilik usaha menganggap perempuan lemah dan pendapatannya hanya sebagai pelengkap kebutuhan keluarga, sehingga perempuan mendapatkan upah yang lebih kecil dibanding perempuan.

Hal tersebut tercetus dalam Penutupan Sidang Nasional PPMP-YCW Indonesia di Hotel Bumi Kitri, Cikutra, Bandung, Senin (9/3). Ketua divisi kampanye PPMP, Rahmat Sudikin dalam pertemuan kali ini mengatakan, terdapat dua macam upah, yakni upah lajang dan upah berkeluarga.

"Hal tersebut hanya berlaku bagi laki-laki saja. Upah perempuan dipukul rata dan lebih kecil jumlahnya. Padahal, mayoritas buruh pabrik di Indonesia adalah perempuan," katanya seperti dilansir Antara.


Meningkat 200 Persen

Sementara itu, angka kekerasan terhadap perempuan dalam tahun 2008 meningkat lebih dari 200 persen dari tahun sebelumnya. Kasus kekerasan yang dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah tangga.

Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat jumlah peningkatan hingga 213 persen, yakni sejumlah 54.425 kasus dibanding tahun sebelumnya. Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan, Ninik Rahayu peningkatan jumlah ini disebabkan semakin baiknya kerja sama antara sejumlah lembaga, yaitu Departemen Agama dalam mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan.

"Tapi ini bukan angka riil ya, karena kasus kekerasan terhadap perempuan ini kan bagai fenomena gunung es. Yang terjadi di masyarakat tentunya bisa lebih banyak," ujar Ninik pada keterangan pers di Jakarta, pekan lalu.

Dia menambahkan, harapan untuk mendapat kemudahan akses mendapatkan data dan keterangan dari pengadilan negeri dan pengadilan agama, sebab banyak kendala yang akan dihadapi jika hanya mengandalkan laporan masyarakat saja. Menurutnya kasus kekerasan terhadap perempuan bukanlah kasus yang mudah terungkap, sebab hukum acara di Indonesia mewajibkan setiap kekerasan seksual ada bukti dan saksi yang sementara hal tersebut, tidak mudah untuk didapatkan korban.

"Tentunya penyertaan bukti dan saksi bukanlah hal yang mudah, karena pastinya hal itu (kekerasan seksual) dilakukan di ruangan tertutup, di bawah tekanan, dan dapat menimbulkan aib jika diungkapkan," katanya.

Selain itu, dia menegaskan dari total kasus kekerasan terhadap perempuan 90 persen berupa kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Mayoritas korban kekerasan ekonomi dalam rumah tangga adalah istri, yaitu sejumlah 6.800 orang dari 46.882 kasus kekerasan terhadap istri, dan mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan di bawah umur yakni sebanyak 469 orang dari 1.870 kasus komunitas.

Posting from SP
(Admin)

Komentar Terkini (0 komentar)
Belum ada komentar
Baca/Kirim Komentar
» Indeks Berita
read more “Diskriminasi Terhadap Perempuan Dalam Bidang Ekonomi Meningkat”

PPMP-YCW Indonesia Nilai Perempuan Kaum Paling Miskin


PPMP-YCW Indonesia Nilai Perempuan Kaum Paling Miskin

Sel, Mar 10, 2009

Nasional

Bandung ( Berita ) : Paguyuban Pekerja Muda Peduli - Young Christian Worker Indonesia (PPMP-YCW Indonesia) menilai perempuan merupakan kaum yang paling miskin dari segi upah buruh.

Hal tersebut tercetus dalam Penutupan Sidang Nasional PPMP-YCW Indonesia di Hotel Bumi Kitri, Cikutra, Bandung, Senin [09/03] . Ketua divisi kampanye PPMP, Rahmat Sudikin, mengatakan pemilik usaha menganggap perempuan lemah dan pendapatannya hanya sebagai pelengkap kebutuhan keluarga. “Sehingga perempuan mendapatkan upah yang lebih kecil dibanding perempuan,” katanya.

Dalam pertemuan kali ini, para anggota PPMP-YCW Indonesia salah satunya membahas mengenai diskriminasi upah bagi pekerja wanita. Dikatakannya, terdapat dua macam upah, yakni upah lajang dan upah berkeluarga. Hal tersebut hanya berlaku bagi laki-laki saja. Upah perempuan dipukul rata dan lebih kecil jumlahnya. Padahal, mayoritas buruh pabrik di Indonesia adalah perempuan

Sistem kerja kontrak juga dinyatakan merugikan kaum buruh. Perlindungan dan jaminan sosial yang merupakan hak pekerja tidak didapatkan oleh kaum buruh. Penjaminan sisoal seperti kesehatan, cuti dan sebagainnya secara jelas di atur dalam Undang-Undang No 13 tentang Tenaga Kerja.

“Dalam Undang-Undang juga sudah diatur mengenai sitem kerja kontrak. Namun masih banyak pengusaha yang lalai” kata Rahmat.

Dikatakan, perjanjian kontrak merupakan pintu gerbang kemiskinan. Dengan sistem kontrak, buruh tidak bisa menuntut banyak hal. Hal ini menimpa baik perempuan maupun laki-laki.

Buruh juga tidak bisa melakukan apapun karena mereka butuh pekrjaan, meskipun dengan peraturan perjanjian yang semena-mena. Akhirnya upah kecil dan daya beli pun menurun. Terjadilah krisis sosial yang meningkat menjadi krisis ekonomi dan politik.”Kami ingin pemerintah memerhatikan hal kecil namun mendasar ini”, katanya.

Nanang Ibrahim, buruh salah satu pabrik di Majalaya mengatakan sistem kontrak pabrik dilakukan karena banyak alasan. Salah satunya efisiensi biaya produksi. Terdapat dua macam sistem kerja, yakni sistem shift dan sistem borongan. SIstem Shift terbentur masalah kontrak. Sistem borongan, buruh harus menyelesaikan target dalam satuhari tidak peduli jam kerjanya.

Ia mengaku kalau lembur tidak dibayar. Saat ini PPMP-YCW INdonesia sudah bekerjasama dengan berbagai organisasi sejenis baik dalam maupun luar negeri. “Kami bekerja sama dengan organisasi internasional, hingga saat ini sudah sampai Asia-Pasifik” kata Rahmat.

Upaya-upaya seperti seminar dan diskusi dilakukan oleh organisasi seperti PPMP-YCW INdonesia untuk memberikan pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai hak-hak para pekerja dan segala realita yang terjadi dalam dunia perburuhan baik di Indonesia maupun di Dunia. ( ant )
read more “PPMP-YCW Indonesia Nilai Perempuan Kaum Paling Miskin”

Paguyuban Pekerja Muda Peduli (PPMP-YCW Indonesia)


Jl: Mars Utara, KAV-247/57 Sekejati
Bandung-Jawa barat-Indonesia
Phone: 0227510760
Email: ppmp_ycwindonesia@yahoo.com
 

blogger templates 3 columns | Make Money Online